Seluruhkeluarga dari dua Kerajaan Besar di Sulawesi Selatan itu sangat gembira dengan pernikahan tersebut. Putri Tandampalik dan Putra Mahkota hidup bahagia. Beberapa tahun kemudian, Putra Mahkota naik tahta. Ia menjadi raja yang arif dan bijaksana. Maka semakin bertambahlah kebahagiaan mereka. disadur dari : Effendy, Tennas. 2006.
Blog sebagian besar berisi kumpulan dongeng cerita rakyat yang berasal dari nusantara. Namun demikian blog ini juga berisi cerita rakyat dunia dan cerita tentang hewan yang memiliki pesan moral yang baik untuk diceritakan kepada anak-anak. Dua cerita rakyat yang kami posting kali ini berasal dari Pulau Sulawesi. Dijamin setelah menceritakan dongeng ini kepada si kecil, imajinasi mereka akan semakin berkembang. Dua cerita rakyat ini sangat cocok dijadikan dongeng sebelum tidur anak. Kumpulan Dongeng Cerita Rakyat dari Sulawesi Tenggara Indara Pitaraa dan Siraapare Tersebutlah cerita dua anak kembar pada masa lampau. Keduanya anak lelaki yang ajaib, karena ketika lahir keduanya telah menggenggam keris di tangan kanan masing-masing. Anak kembar yang pertama bernama Indara Pitaraa dan yang kedua Siraapare namanya. Indara Pitaraa dan Siraapare tumbuh menjadi anak-anak yang nakal. Keduanya kerap menggunakan keris masing-masing untuk alat kenakalan mereka. Keduanya kerap merusak tanaman dan juga membunuh hewan peliharaan penduduk. Penduduk pun menjadi resah karena perbuatan Indara Pitaraa dan Siraapare. Kedua orang tua anak kembar itu juga telah dibuat pusing karena perbuatan Indara Pitaraa dan Siraapare itu. Kedua orangtua Indara Pitaraa dan Siraapare merasa tak sanggup lagi menghentikan ulah kenakalan dua anak kembar itu. Ibu dua anak kembar itu akhirnya menyuruh kedua anak kembarnya itu untuk pergi merantau. Kumpulan Dongeng Cerita Rakyat dari Sulawesi Tenggara Indara Pitaraa dan Siraapare Indara Pitaraa dan Siraapare sangat senang disuruh pergi merantau. Sebelum berangkat, ibu dua anak kembar itu membekali dengan tujuh buah ketupat, tujuh butir telur, tujuh ruas batang tebu, dan dua belah kelapa tua. Keduanya juga dibekali dengan tempurung kelapa yang digunakan untuk penutup kepala. Dua anak kembar itu pun rnemulai perjalanan merantau mereka. Keduanya menerobos hutan belantara, menyeberangi sungai, menuruni lembah, dan juga mendaki bukit serta gunung. Setiap kali melewati satu gunung, Siraapare meminta waktu sejenak untuk beristirahat. Indara Pitaraa menuruti keinginan adik kembarnya itu. Indara Pitaraa memangku Siraapare sampai tertidur. Setelah Siraapare terbangun, masing-masing dari keduanya lantas memakan satu buah ketupat, satu butir telur, dan seruas batang tebu. Begitu yang mereka lakukan hingga melewati gunung keenam. Ketika keduanya tiba di puncak gunung ketujuh, Indara Pitaraa yang belum pernah beristirahat merasa sangat lelah. Ia meminta waktu untuk beristrahat. Adik kembarnya lantas memangkunya hingga ia tertidur. Ketika Siraapare tengah memangku Indara Pitaraa, mendadak datang angin topan yang besar. Siraapare lantas membangunkan kakak kembarnya. Indara Pitaraa menyarankan agar mereka menyimpulkan tali pinggang masing- masing agar keduanya tidak terpisah jika diterjang angin topan itu. Angin topan dahsyat itu menerjang keduanya Jan menerbangkan dua saudara kembar itu ke angkasa. Meski Indara Pitaraa dan Siraapare telah erat-erat menyimpulkan tali pinggang masing- masing, namun keduanya terpisahkan setelah terkena terjangan angin topan. Angin topan pun terus menerbangkan dan menjauhkan dua saudara kembar itu. Indara Pitaraa akhirnya jatuh di sebuah wilayah yang tengah diamuk oleh burung garuda. Siraapare jatuh di sebuah wilayah yang tengah dilanda peperangan. Seperti halnya warga lainnya, Siraapare segera nelibatkan diri dalam peperangan. Bersenjatakan keris pusakanya. Siraapare berperang dengan gagah berani tempurung kelapa yang diberikan ibunya sangat berguna dalam berbagai peperangan yang diikutinya itu. Aneka senjata tidak mampu melukai kepalanya karena terhalang tempurung kelapa yang dikenakan Siraapare. Dengan kegagahan, kepiawaian, dan keberaniannya, Siraapare lantas dipercaya menjadi pemimpin pasukan. Berkat pimpinan Siraapare, pasukan itu menuai kemenangan. Siraapare akhirnya dipilih menjadi raja wilayah tersebut. Indara Pitaraa jatuh di sebuah wilayah yang sepi. Semua penduduk bersembunyi karena takut dimangsa burung garuda ganas. Indara Pitaraa melihat sebuah rumah yang indah. Ketika ia memasuki rumah itu ia melihat sebuah gendang besar. Indara Pitaraa menepuk gendang besar itu dan terdengar sebuah suara dari dalam gendang besar, “Jangan pukul gendang ini. Burung garuda ganas itu akan datang dan memangsamu!” Indara Pitaraa terkejut. Dengan kerisnya, disobeknya kulit gendang besar itu. Ia melihat seorang gadis berada di dalam gendang besar dengan wajah pias ketakutan. Si gadis lantas menceritakan adanya burung garuda ganas pemangsa manusia. Segenap warga dibuat ketakutan karenanya. “Jangan engkau takut,” ujar Indara Pitaraa. “Aku akan menghadapi burung garuda ganas itu” Si gadis kembali menjelaskan, burung garuda itu akan datang jika cuaca tampak mendung. Burung garuda ganas itu akan hinggap di atas dahan pohon mangga macan. Indara Pitaraa menunggu kedatangan burung garuda ganas itu ketika cuaca terlihat mendung. Seketika melihat adanya orang, burung garuda itu pun lantas meluncur untuk menyambar. Namun, sebelum burung garuda itu menyambarnya, Indara Pitaraa telah melompat dan bertengger di dahan pohon mangga macan. Burung garuda itu kemudian meluncur menuju dahan pohon mangga macan, Indara Pitaraa telah melompat ke atas tanah. Begitu seterusnya yang terjadi hingga burung garuda ganas itu akhirnya kelelahan. Ketika itulah Indara Pitaraa menyerang dengan menggunakan kerisnya. Burung garuda ganas itu pun mati terkena keris pusaka Indara Pitaraa. Negeri itu pun kembali aman dan damai. Segenap warga merasa lega karena burung garuda ganas yang mereka takuti telah mati. Mereka mengelu-elukan Indara Pitaraa. Sebagai balas terima kasih, mereka menikahkan Indara Pitaraa dengan si gadis yang bersembunyi di dalam gendang besar yang ternyata adalah putri raja. Indara Pitaraa melanjutkan perjalanannya. Tibalah ia di sebuah negeri yang telah ditaklukkan oleh seekor ular besar. Ia tiba di sebuah rumah besar. Dilihatnya orang-orang di dalam rumah itu tengah mendandani seorang gadis berwajah cantik. Sangat mengherankan, orang-orang itu mendadani si gadis seraya menangis. “Apa yang terjadi?” tanya Indara Pitaraa. Orang-orang pun menjelaskan jika mereka hendak mempersembahkan si gadis kepada ular besar yang berdiam di sebuah gua. Jika mereka tidak mempersembahkan si gadis, ular besar itu akan datang ke negeri itu dan mengamuk. “Ular besar itu akan memangsa semua warga negeri ini jika tidak diberi persembahan,” kata seorang warga. “Janganlah kalian takut,” ujar Indara Pitaraa. “Biarkan ular besar itu datang ke sini. Aku akan menghadapinya.” Tidak berapa lama kemudian ular besar itu benar-benar datang. Ia tampak sangat marah karena terlambat diberikan persembahan. Gadis yang dijanjikan warga untuk persembahan kepadanya tidak juga kunjung tiba. Ia mengancam akan memangsa seluruh warga. Ular besar itu langsung menuju rumah si gadis dan bertemu dengan Indara Pitaraa yang terlihat siap melawannya. Ular besar itu langsung menyerang Indara Pitaraa. Ia memagut dan menelan Indara Pitaraa. Sangat mengherankan, Indara Pitaraa dapat keluar dari tubuh ular besar itu tanpa terluka sedikit pun juga. Kembali ular besar itu memagut dan menelan Indara Pitaraa, namun kembali pula Indara Pitaraa dapat keluar dari tubuh ular besar itu dengan selamat. Berulang-ulang hal itu terjadi hingga ular besar itu akhirnya kelelahan. Indara Pitaraa akhirnya menyerang ular besar itu dengan keris pusakanya. Serangannya mematikan hingga akhirnya ular besar itu pun mati. Tubuh ular besar itu terpotong-potong, daging tubuhnya terhambur hingga memenuhi wilayah yang luas. Segenap warga negeri itu bergembira mendapati ular besar itu telah mati. Mereka pun mengangkat Indara Pitaraa sebagai raja mereka. Indara Pitaraa memerintah dengan adil dan bijaksana hingga segenap rakyat yang dipimpinnya bertambah makmur dan sejahtera. Waktu terus berlalu. Siraapare yang tetap bertakhta sebagai raja pada suatu hari mengadakan perjalanan. Ia tiba di negeri yang dipimpin Indara Pitaraa. Pertemuan antara dua saudara kembar itu pun terjadi. Keduanya segera terlibat dalam pembicaraan penuh kerinduan. Keduanya juga sepakat untuk pulang ke kampung halaman mereka guna menengok kedua orangtua mereka. Tak berapa lama kemudian Indara Pitaraa dan Siraapare berangkat menuju kampung halaman mereka. Masing-masing membawa istri. Syandan, sepeninggal dua anak kembarnya dahulu, kedua orangtua Indara Pitaraa dan Siraapare amat berduka. Mereka terus menangis dengan menelungkupkan wajah pada bantal kapuk. Bertahun-tahun mereka menangis, hingga biji-biji kapuk yang terdapat di dalam bantal pun tumbuh menjadi tanaman kapuk karena tersirami airmata mereka. Ketika mendapati dua anak kembar mereka telah kembali, mereka segera mengangkat kepala mereka dari bantal kapuk. Tak terkirakan gembira dan bahagia hati mereka mendapati kedua anak mereka telah kembali dan keduanya telah pula menjadi raja. Bertambah- tambah kegembiraan mereka mendapati dua anak kembar mereka kembali bersama istri-istri mereka. Sebagai wujud kegembiraan hati keduanya, kedua orangtua Indara Pitaraa dan Siraapare itu mengadakan pesta yang dilangsungkan selama tujuh hari tujuh malam. Pesan Moral dari Kumpulan Dongeng Cerita Rakyat dari Sulawesi Tenggara Indara Pitaraa dan Siraapare adalah hubungan antar saudara hendaklah senantiasa terus diperkuat. kebersamaan di antara saudara akan dapat menjadi kekuatan yang ampuh untuk menanggulangi masalah atau sesuatu yang berat. Kumpulan Dongeng Cerita Rakyat dari Sulawesi Tenggara La Moelu Tersebutlah seorang anak lelaki bernama La Moelu. Ia hidup bersama ayahnya yang telah tua. Ibunya telah lama meninggal dunia, ketika La Moelu masih bayi. Karena ayahnya telah tua, La Moelu-Iah yang mencari nafkah. Ia mencari ikan untuk mencukupi kebutuhan hidup dirinya dan juga ayahnya. Ikan-ikan hasil tangkapannya itu dijualnya di pasar. Pada suatu hari La Moelu pergi memancing. Telah seharian ia memancing, tidak seekor ikan pun yang berhasil dipancingnya. Waktu senja pun tiba. La Moelu yang telah berniat pulang menjadi gembira karena mata kailnya ditarik ikan. La Moelu menarik pancingnya. Seekor ikan mungil berada di ujung kailnya. La Moelu keheranan melihat ikan kecil itu. Seumur hidupnya ia belum pernah melihat ikan kecil yang terlihat cantik itu. Maka, dibawanya ikan kecil itu untuk dipeliharanya di rumah. Ikan kecil itu dipelihara La Moelu di dalam daun yang dibentuk menyerupai mangkok. Ayah La Moelu juga senang dengan ikan kecil yang cantik tersebut. Ia menyarankan agar La Moelu memelihara ikan kecil tersebut di dalam belanga. La Moelu menuruti saran ayahnya. Dimasukkannya ikan kecil itu di dalam belanga dengan diberinya air dan juga makanan yang cukup. Kumpulan Dongeng Cerita Rakyat dari Sulawesi Tenggara La Moelu Keesokan harinya La Moelu terperanjat ketika mendapati ikan yang dipeliharanya di dalam belanga itu telah tumbuh membesar hingga sebesar belanga. Tak terkirakan gembiranya La Moelu. “Benar-benar ikan ajaib,” katanya, “tumbuhnya sangat cepat.” Ayah La Moelu yang turut gembira lantas menyarankan agar ikan tersebut dipelihara di dalam lesung. La Moelu menuruti saran ayahnya. Dimasukkannya ikan peliharaannya itu di dalam lesung yang telah diberinya cukup air. Tak lupa, diberinya pula makanan. Keajaiban kembali terjadi. Keesokan harinya ikan peliharaan La Moelu tersebuttelah bertambah besar hingga sebesar lesung. “Bagaimana ini, Ayah?” tanya La Moelu. “Harus kita pelihara di mana ikan ini?” Karena tidak ada lagi tempat besar yang dapat menampung ikan itu, Ayah La Moelu menyarankan agar melepaskan ikan itu ke laut. La Moelu lantas membawa ikan itu ke laut. Ikan itu tampak gembira dilepaskan di laut. Ia berenang mengitari kaki La Moelu seolah-olah mengucapkan terima kasih. La Moelu sangat senang mendapati ikan itu sangat jinak kepadanya. Katanya kemudian, “Wahai ikan, kuberi nama untukmu Jinnande Teremombonga. Jika namamu kupanggil, hendaklah engkau muncul. Aku akan memberimu makanan jika engkau muncul ke permukaan.” Ikan yang telah diberi nama Jinnande Teremombonga itu mengangguk-anggukkan kepala. Ia lantas berenang dengan gembira ke laut lepas. Sejak saat itu La Moelu setiap hari ke laut untuk memberi makan Jinnande Teremombonga. Setibanya di pinggir laut, La Moelu akan memanggil nama Jinnande Teremombonga. Ikan itu akan muncul ke permukaan laut dan menghampiri La Moelu dengan gembira. Ia akan menyantap makanan pemberian La Moelu. Ia bahkan kerap bermain-main dengan La Moelu yang sangat menyayanginya. Pada suatu hari tujuh pemuda mendapati La Moelu yang tengah bercanda dengan Jinnande Teremombonga. Semula tujuh pemuda itu kagum dengan persahabatan erat antara La Moelu dan ikan besar itu. Namun, kekaguman mereka berubah menjadi niat jahat untuk menangkap Jinnande Teremombonga! Mengetahui cara La Moelu memanggil ikan besar itu, tujuh pemuda itu pun menirunya. Mereka memanggil Jinnande Teremombonga. Seketika ikan besar itu muncul ke permukaan laut dan menghampiri mereka, ketujuh pemuda itu lantas menjerat Jinnande Teremombonga dengan jala besar yang sangat kuat. Meski Jinnande Teremombonga berusaha keras untuk melepaskan diri, namun jala itu sangat kuat hingga usaha ikan besar itu menjadi sia-sia. Tujuh pemuda itu menyeret Jinnande Teremombonga ke pantai dan menyembelih serta memotong-motongnya menjadi tujuh bagian. Masing-masing pemuda mendapat satu bagian. Mereka lantas membawa daging ikan itu ke rumah masing-masing dengan hati riang. Menurut mereka, bagian daging ikan untuknya itu tidak akan habis dimakannya selama seminggu. Pada sore harinya La Moelu datang ke pantai dan memanggil Jinnande Teremombonga. Namun, ikan itu tidak muncul seperti biasanya. La Moelu terus memanggil, namun ikan yang sangat disayanginya tidak juga menampakkan diri. Keheranan La Moelu akhirnya tersingkap setelah beberapa orang menceritakan kepadanya perihal telah dibunuhnya Jinnande Teremombonga oleh tujuh pemuda tadi pagi. La Moelu sangat sedih mendengar ikan kesayangannya itu menemui kematian secara mengenaskan. Ia pun menuju rumah salah seorang pemuda penangkap ikan kesayangannya. Bertambah tambah sedih hatinya ketika mendapati pemuda itu beserta keluarganya tengah memakan daging Jinnande Teremombonga dengan amat Iahapnya. Tulang-tulang Jinnande Teremombonga mereka buang hingga berserakan di sekitar rumah itu. La Moelu mengumpulkan tulang-tulang Jinnande Teremombonga dan membawanya pulang. Ketika tiba di rumahnya, La Moelu lantas menguburkan tulang belulang itu di halaman belakang rumahnya. Selesai menguburkan, La Moelu berujar, “Beristirahatlah dengan tenang wahai Jinnande Teremombonga yang sangat kusayangi. Beristirahatlah dengan tenang wahai sahabatku.” Keesokan harinya La Moelu terperangah ketika mendapati sebuah keajaiban di halaman belakang rumahnya. Ia melihat sebatang pohon tumbuh di tempat ia menanam tulang belulang Jinnande Teremombonga. Pohon yang luar biasa ajaib. Pohon itu berbatang emas, berdaun perak, dan berbuah permata! Banyak pula buahnya La Moelu memetik beberapa buah dan menjualnya. Ia terbelalak mendapati buah-buah itu dihargai sangat tinggi oleh pembelinya. Hasil penjualan buah-buah itu sangat mencukupi kebutuhan dirinya danjuga ayahnya. Bahkan, untuk membangun rumah yang indah pun masih juga cukup. La Moelu yang baik hati itu pun akhirnya hidup berbahagia. Ia dikenal sebagai sosok yang kaya raya di kampungnya. Namun demikian ia tidak menyombongkan kekayaannya. Ia bahkan kerap berbagi kepada orang-orang yang datang dan meminta bantuan kepadanya. Tangannya senantiasa terulur untuk memberikan bantuan kepada yang membutuhkannya. Pesan Moral dari Kumpulan Dongeng Cerita Rakyat dari Sulawesi Tenggara La Moelu adalah kita hendaklah menyayangi hewan karena hewan itu sesungguhnya ciptaan tuhan seperti halnya kita. hewan yang kita sayangi akan membalas dengan kasih sayangnya pula. Jika anda merasa artikel yang kami posting bermanfaat kami mohon bantuan untuk membagikan artikel ini di facebook, google plus, twitter atau media sosail yang lain. Dengan membantu membagikan cerita rakyat yang kami posting, sama dengan membantu anak Indonesia untuk mendapatkan dongeng seperti yang kita dengar ketika kita masih kecil. Terima kasih kami ucapkan untuk rekan-rekan yang sudah membagikan blog kami di media sosial. Salam dari admin
Sawerigading adalah nama seorang putera raja Luwu dari Kerajaan Luwu Purba, Sulawesi Selatan, Indonesia. Dalam bahasa setempat Sawerigading berasal dari dua kata, yaitu sawe yang berarti menetas (lahir), dan ri gading yang berarti di atas bambu betung. Jadi nama Sawarigading berarti keturunan dari orang yang menetas (lahir) di atas bambu betung
Ingin menambah wawasan mengenai cerita rakyat nusantara? Yuk, tambah koleksi cerita rakyat dari Sulawesi Tenggara yang telah dirangkum di sini!Indonesia menyimpan banyak sekali cerita rakyat dari setiap daerahnya, tak terkecuali dari Sulawesi Tenggara. Masing-masing ceritanya juga sarat akan pesan moral yang bisa dijadikan sebagai cerita tersebut di antaranya adalah asal usul Gunung Mekongga, cerita rakyat Oheo, Suku Tolaki, dan masih banyak lagi. Kamu juga bisa menemukan cerita Putri Satarina dan Tujuh Bidadari yang sangat menarik untuk bisa dikonsumsi sendiri, cerita tersebut juga dapat diceritakan kepada anak-anak kecil. Misalnya saja anakmu, keponakan, adik, atau anak penasaran, lebih baik langsung saja cari tahu kisah selengkapnya di sini, yuk! Selamat membaca! Indonesia kaya akan dongeng yang berhubungan dengan bidadari yang turun ke bumi. Namun, pernahkah kamu mendengar cerita rakyat Putri Satarina dan Tujuh Bidadari dari Sulawesi Tenggara? ...Warga Sulawesi Tenggara mungkin sudah tak asing dengan nama Gunung Mekongga. Namun, tak banyak yang mengetahui kisah di balik asal mula Gunung Mekongga. Kalau kamu penasaran dengan kisahnya, ...Cerita rakyat La Sirimbone dari Sulawesi Tenggara cocok untuk dijadikan sebagai pengantar tidur anak-anak. Namun, apakah kamu familier dengan ceritanya? Kalau belum, kamu bisa langsung ...Kamu suka membaca cerita rakyat Nusantara? Dari Sulawesi Selatan, ada kisah yang cukup inspiratif dan menarik tuk dibaca, yakni cerita rakyat La Moelu. Bila ingin membacanya, langsung ...Kamu sedang mencari bacaan untuk menghabiskan waktu luang? Bila ingin membaca cerita rakyat Nusantara, kisah dari Sulawesi Selatan berjudul Oheo mungkin bisa kamu jadikan pilihan. Kisah ...Ada cerita rakyat yang mengisahkan tentang kera dan ayam? Tentu saja, kamu bisa menyimak dongeng lengkap mengenai kisah dari Sulawesi Tenggara tersebut melalui artikel yang kami rangkum ...Fabel Kera dan Ayam Terdapat banyak cerita fabel yang diambil dari cerita rakyat di nusantara, salah satunya adalah dari Sulawesi Tenggara. Di sini, kami telah merangkumkan cerita rakyat Sulawesi Tenggara mengenai dongeng persahabatan kera dan ayam. Cerita tentang kedua hewan tersebut menyimpan sejumlah pesan moral yang perlu kamu pelajari. Kalau perlu, kamu dapat mengajarkannya kepada anak, keponakan, atau murid-muridmu jika kamu seorang pengajar. Baca selengkapnya Dongeng Kera dan Ayam, Cerita Rakyat dari Sulawesi Tenggara Beserta Ulasannya Alkisah, hiduplah seorang pemuda bernama Oheo yang pekerjaanya mencari tebu. Suatu hari saat sedang bekerja, ia melihat 7 bidadari yang tengah mandi. Tergoda melihat kecantikan mereka, timbul niat jahatnya untuk mencuri selendang salah satu dari mereka untuk ia jadikan istri. Rencananya berhasil. Ia berhasil menikahi Putri Anawai. Sayangnya, setelah sekian lama hidup berumah tangga, Oheo melakukan kesalahan yang membuat sang putri pulang ke khayangan kembali. Kira-kira, kesalahan apa itu? Baca selengkapnya Legenda Oheo dari Sulawesi Tenggara, Kisah Pemuda yang Mencuri Selendang Bidadari Khayangan Cerita Rakyat La Moelu Kisah ini menceritakan seorang anak kecil bernama La Moelu yang hidup bersama ayahnya yang tua renta. Karena sudah tak leluasa bergerak, La Moelu lah yang mengurus ayahnya sembari mencari nafkah. Suatu hari, ia menemukan sebuah ikan. Ajaibnya, pertumbuhan ikan itu sangat cepat. Karena kelewat besar sehingga tak muat ditampung di wadah, ikan tersebut dipelihara di laut. Sedihnya, ada beberapa tetangga Moelu yang mengetahui keberadaan ikan tersebut memiliki niat jahat. Apa yang mereka rencanakan? Baca selengkapnya Legenda La Moelu dari Sulawesi Tenggara Beserta Ulasannya, Kisah Seorang Anak Yatim dan Miskin Cerita Rakyat Sulawesi Tenggara La Sirimbone Kisah ini berawal dari seorang pedagang kain yang jatuh cinta pada pada beranak satu bernama Wa Roe. Ia berjanji akan menyayangi anak tirinya juga, tapi ia mengingkari janjinya. Ia jadi sering menyiksa anaknya itu. Sang ibu yang tak tahan putranya disiksa memutuskan untuk meninggalkannya di hutan. Walau sedih, La Sirimbone tak punya pilihan lagi. Setelah setengah mati menahan kelaparan, ia akhirnya menemukan gubuk tua. Namun, bukannya menemukan makanan, ia malah bertemu raksasa wanita. Lalu, apa yang akan terjadi padanya? Baca selengkapnya Dongeng La Sirimbone dari Sulawesi Tenggara dan Ulasannya, Lika Liku Kehidupan Anak yang Ditinggalkan Keluarga Asal Usul Gunung Mekongga Nama Gunung Mekongga tentunya sudah tidak asing lagi bagi kalangan masyarakat Sulawesi Tenggara. Tak hanya namanya, cerita legenda yang melatarbelakanginya juga sudah pasti familer. Namun, bagaimana denganmu jika kebetulan tidak berasal dari daerah ini? Kalau penasaran dengan ceritanya, simak di sini saja, ya! Baca selengkapnya Asal Mula Gunung Mekongga di Sulawesi Tenggara & Ulasan Menariknya, Tempat Terbunuhnya Burung Garuda Raksasa EditorElsa DewintaElsa Dewinta adalah seorang editor di Praktis Media. Wanita yang memiliki passion di dunia content writing ini merupakan lulusan Universitas Sebelas Maret jurusan Public Relations. Baginya, menulis bukanlah bakat, seseorang bisa menjadi penulis hebat karena terbiasa dan mau belajar.
POSKUPANGWIKI.COM - Cerita Rakyat NTT: Tuik Nenol dan Skau Ana, Sejarah Gunung Fatuleu Kabupaten Kupang. Salah satu Cerita Rakyat NTT yang berasal dari Kabupaten Kupang yakni Tuik Nenok dan Skau Ana. Tui Nenok dan Skau Ana ini berkaitan dengan Gunung Fatuleu yang ada di wilayah Kabupaten Kupang, Provinsi Nusa Tenggara Timur ( NTT ), Indonesia.Kamu suka membaca cerita rakyat Nusantara? Dari Sulawesi Selatan, ada kisah yang cukup inspiratif dan menarik tuk dibaca, yakni cerita rakyat La Moelu. Bila ingin membacanya, langsung saja baca artikel berikut ini!Membaca adalah kegiatan positif dan bermanfaat yang bisa kamu lakukan di waktu luang. Untuk lebih mengenal budaya Nusantara, kamu bisa perbanyak membaca legenda atau cerita rakyat dari berbagai daerah di Indonesia. Di Sulawesi Tenggara, ada cerita rakyat La Moelu yang kisahnya cukup menarik dan Moelu adalah seorang anak-anak laki yang tinggal bersama ayahnya. Ibunya sudah meninggal sejak ia masih bayi. Sedihnya, ayahnya telah berusia senja dan tak bisa lagi mencari bagaimanakah anak yatim tersebut bertahan hidup? Penasaran dengan kisah selengkapnya? Tak perlu berlama-lama lagi, yuk, langsung saja simak cerita selengkapnya di artikel ini! Tak hanya ceritanya saja, ulasan seputar unsur intrinsik, pesan moral, dan fakta menariknya juga telah kami paparkan!Cerita Rakyat La Moelu Pada zaman dahulu, di suatu desa kecil di Sulawesi Tenggara, hiduplah seorang anak laki-laki bernama La Moelu. Saat ia masih bayi, ibunya meninggal sehingga dirinya hanya tinggal dengan ayahnya saja. Sayangnya, sang ayah telah tua renta dan tak bisa mencari nafkah. Jangankan bekerja, untuk berjalan saja ayahnya kesusahan. Untuk mencukupi kebutuhan sehari-hari, La Moelu yang tiap hari harus bekerja keras. Setiap pagi, ia pergi ke hutan tuk mencari kayu bakar yang kan dijualnya ke pasar. Hasil penjualan biasanya ia gunakan untuk membeli beras. Setelah itu, ia pergi ke sungai tuk menangkap ikan buat lauk makan. Pada suatu hari, anak pekerja keras ini telah menyiapkan banyak cacing tanah yang kan ia gunakan sebagai umpan. Setibanya di tepi sungai, ia melihat segerombolan ikan muncul di permukaan sungai. “Wah, banyak sekali ikannya. Tampaknya, hari ini aku bisa mendapatkan banyak ikan. Aku sudah tak sabar ingin segera memancingnya,” ucapnya antusias. Ia bergegas menyiapkan peralatannya memancing. Di sebuah batu dekat tepi pantai, ia duduk dan menjulurkan pancingnya. Ia menunggu ikan memakan umpannya sembari bersiul-siul. Sayangnya, sudah hampir satu jam ia menunggu, tak ada seekor pun yang terperangkap umpannya. “Lah, ke mana perginya ikan-ikan tadi? Jelas-jelas tadi aku melihat mereka bergerombol. Kenapa sekarang tak ada satu pun yang terperangkap pada pancingku,” gumamnya. Hari pun semakin siang. Tapi, tak satu pun ikan berhasil ia tangkap. Sempat ingin menyerah, La Moelu lalu teringat akan ayahnya di rumah. “Kalau menyerah, nanti aku dan ayah makan apa?” ucapnya dalam hati. Baca juga Legenda Asal Usul Burung Cendrawasih dan Ulasannya, Kisah Si Burung Surga yang Mengandung Amanat Bermakna Menangkap Ikan Mungil Alhasil, ia pun tetap memancing dan bersabar menunggu ikan. Beberapa saat kemudian, pancingnya bergetar. Tampaknya, ada ikan yang memakan umpannya. Dengan penuh hati-hati, ia menarik kailnya. Namun, yang berhasil ia tangkap adalah seekor ikan kecil. Meski begitu, La Moelu tetap senang karena ikannya sangat indah. Warnanya oranye dengan ekor meliuk-liuk. “Aku tak akan memakannya. Akan kujadikan ikan ini sebagai peliharaan,” gumamnya dalam hati. Lalu, ia lanjut memancing dan berhasil mendapatkan ikan besar. Karena matahari sudah semakin panas, ia pun pulan dengan hati gembari. Setibanya di rumah, ia memamerkan hasil tangkapannya ke sang ayah. “Ayah, lihatlah! Aku mendapatkan ikan kecil yang sangat bagus,” teriaknya bahagia. “Wah, warnanya sungguh cantik, anakku. Ikan jenis apa ini?” ucap sang ayah terkagum. “Aku juga tak tahu, Yah. Apakah boleh aku memeliharanya, Yah?” tanya sang anak. “Tentu saja boleh. Kalau pun dimakan, ikan ini tak akan membuat kita kenyang,” ujar sang ayah. La Moelu lalu memindahkan ikan tangkapannya itu ke dalam baskom yang berisi air. Ikan itu ia beri makan agar tak kelaparan. Keesekan harinya, ia terkejut karena ikannya telah sebesar baskom. “Ayah, lihatlah! Ikan ini kenapa sudah sebesar ini? Kemarin bukankah sangat kecil? Bagaiamana bisa ia tumbuh begitu cepatnya?” ujarnya kebingungan. Sang ayah pun terkejut. Ia pun tak menyangka bila ikan itu bisa membesar dengan cepatnya. “Segera pindahkan ikannya ke dalam lesung, Nak. Kasihan jika ia merasa kesempitan,” pinta sang ayah. Dengan cepat, La Moelu langsung mengisi lesung dengan air. Ia lalu memindahkan ikannya ke dalam lesung. Setelah memberikan sedikit makanan, ia berkata pada ikan itu, “Kenapa kamu cepat tumbuh, Kan? Apakah kamu ikan ajaib?” Semakin Membesar Keajaiban itu kembali terjadi di keesokan harinya. Ikan yang semula sebesar baskom, kini sebesar lesung. Sontak, hal itu membuat La Moelu dan ayahnya terkejut. Mereka lalu memindahkannya ke tempat yang lebih besar, yakni di dalam guci. Pada hari berikutnya, ikan berwarna oranye itu kembali menghebohkan si anak dan ayahnya. Tubuhnya kembali membesar seukuran dengan wadahnya. Kali ini, La Moelu bingung memindahkannya di mana. Setelah mencari tempat, akhirnya ia menemukan drum besar. Ikan itu lalu ia pindahkan ke dalam drum tersebut. Mereka beranggapan bila hewan tersebut tak akan membesar seukuran drum. Namun, perkiraaan mereka salah. Saat esok tiba, betapa terkejutnya mereka melihat ikan itu sudah memenuhi drum tersebut. Karena khawatir ikan itu terus membesar, pada akhirnya La Moelu membawanya ke laut. Sebelum melepasnya ke laut, ia berpesan pada sang ikan. “Hai, ikan ajaib! Aku memberimu nama Jinnande Teremombonga. Jika kelak aku memanggilmu, datanglah ke tepi laut. Aku akan memberimu makan. Aku tak dapat lagi memeliharamu di rumah, karena tubuhmu terus-terusan membesar,” ujar anak baik itu. Ikan itu pun mengibas-ngibaskan ekornya. Kemudian, La Moelu melepaskannya ke lautan. Ikan itu tampak senang karena dapat bergerak dengan bebas di samudera luas. Sesuai janji, anak kecil itu keesokan harinya datang ke tepi laut. Ia lalu berteriak memanggil nama ikannya, “Jinnande Teremombonga!” Tak berapa lama, Jinnande Teremombonga datang menghampirinya. Ia lalu memberikan ikan itu makanan sembari mengajaknya bicara. “Tubuhmu makin besar saja. Kau tampak makin indah,” ujarnya. Jinnande Teremombonga memberi respon dengan cara mengibas-ngibaskan ekor. Jinnande Teremombonga Terancam Bahaya Pada suatu pagi yang cerah, seperti biasa La Moelu datang ke tepi laut untuk memberi makan Jinnande Teremombonga. Ternyata, ada tiga pemuda yang mengikuti La Moelu. Ketiga pemuda itu rupanya tetangga La Moelu yang penasaran ke mana perginya anak laki-laki ini tiap pagi. Betapa terkejutnya mereka mendapati anak itu sedang memberi makan pada ikan besar. Muncullah niat jahat dalam benak mereka. “Kawan-kawan, bagaimana kalau kita menangkap ikan besar itu? Pasti bakal laku mahal jika kita menjualnya di pasar,” ujar salah satu pemuda paling tua. “Tunggu dulu, jangan gegabah! Kita tunggu dulu anak kecil itu pulang. Barulah kita menangkap ikan raksasa,” ujar pemuda lain. Setelah La Moelu pergi, ketiga pemuda itu mendekati tepi laut. Akan tetapi, mereka tak tahu bagaimana caranya mendapatkan ikan besar itu. “Tampaknya, ikan itu tak akan mendekati kita. Tapi, bagaimana cara membuatnya ke tepi laut?” ujar salah satu pemuda. “Hmm, tampaknya kita harus kembali lagi besok pagi dan mengamati apa yang anak kecil itu lakukan untuk memanggil ikannya,” ucap pemuda paling tua. Akhirnya, mereka pun pulang dengan tangan kosong. Keesokan harinya, mereka kembali mendekati La Moelu. Kali ini, mereka memperhatikan dengan seksama gerak-gerik La Moelu. Akhirnya, mereka tahu cara memanggil hewan raksasa itu. Usai memberi makan, La Moelu bergegas pergi karena ia harus segera ke pasar dan ke sungai tuk memancing ikan. Kemudian, ketiga pemuda itu mendekat ke tepi laut. Mereka lalu berteriak memanggil Jinnande Teremombonga. “Jinnande Teremombonga! Datanglah kemari!” ucap pemuda lainnya. Tak lama kemudian, Jinnande Teremombonga datang ke tepi laut. Namun, saat melihat orang yang memanggilnya bukanlah Moelu, Jinnande Teremombonga langsung kembali pergi menjauh. “Hah? Kenapa ikan itu pergi lagi?” tanyanya. “Mungkin, dia takut padamu! Coba aku saja yang memanggilnya,” ucap salah satu pemuda. “Jinnande Teremombonga! Kemarilah!” teriaknya. Ikan itu datang mendekat, tapi mendapati yang datang bukanlah tuannya, ia kembali menghindar. Saat pemuda terakhir mencoba memanggilnya, hal itu terjadi lagi. Sampai akhirnya, mereka pun mengatur strategi. Upaya Menangkap Jinnande Teremombonga Setelah berdiskusi sekian lama, akhirnya ketiga pemuda itu menemukan rencana. Salah satu dari mereka akan memanggil Jinnande Teremombonga, saat tiba di tepi laut, kedua pemuda lainnya akan menangkapnya dengan tombak. Dan ternyata, rencana mereka berhasil. Ketika Jinnande Teremombonga tiba di tepi laut, kedua pemuda itu langsung menghunus perutnya dengan tombak. Meski sempat mencoba melawan, Jinnande Teremombonga akhirnya kalah dan mati. Dengan teganya, para pemuda itu lalu memotong-motong Jinnande Teremombonga dan membagi rata. Lalu, mereka membawa sebagian ikan ke pasar dan menjualnya. Sisanya mereka bawa pulang ke rumah masing-masing. Keesokan harinya, La Moelu kembali ke laut untuk memberi makan temannya. Tentunya, ia belum tahu nasib buruk yang menimpa ikan kesayangannya itu. Ia memanggilnya berulang kali, tapi ikan itu tak kunjung datang. “Jinnande Teremombonga, kenapa kau tak kunjung mendatangiku? Apa kau tak lapar? Ada apa denganmu?” ucapnya cemas. Sudah cukup lama ia menanti temannya itu. Ia berkali-kali memanggilnya, tapi tak kunjung ada yang mendekat. Bahkan, ia memanggilnya lebih keras, tapi Jinnande Teremombonga tak kunjung datang. La Moelu pun mulai cemas. Ia khawatir bila ada suatu hal buruk yang menimpa kawannya. “Ke mana perginya dirimu? Jangan-jangan ada suatu hal buruk yang menimpamu?” gumamnya dalam hati. Hingga sore tiba, Jinnande Teremombonga tak kunjung menampakkan diri. Karena lelah, ia memutuskan tuk pulang. Dengan raut wajah sedih dan kecewa, La Moelu menceritakan kesedihannya pada sang ayah. Tetangga yang Jahat Saat malam datang, tiba-tiba saja La Moelu menghirup aroma sedap ikan goreng. Sontak, hal itu membuatnya teringat akan Jinnande Teremombonga. Ia bergegas dari tempat tidurnya dan mendatangi sumber aroma. Aroma sedap itu berasal dari rumah tetangganya. Ia pun mengunjungi rumah itu untuk memastikan ikan jenis apakah yang mereka goreng. Saat mendatangi rumah tetangganya, ia disambut dengan pemuda paling tua yang tadi pagi menangkap Jinnande Teremombonga. “Oh hai, pria kecil. Apa yang membuatmu datang kemari?” tanyanya. “Aku mencium aroma sedap ikan goreng dari rumahku. Apakah kamu yang sedang menggorengnya?” tanya La Moelu. “Wah, ternyata aromanya menyebar hingga ke rumahmu, ya. Iya, benar sekali. Saudaraku sedang menggoreng ikan. Kau mau?” jelas pemuda itu. “Tidak, terima kasih. Aku hanya penasaran, ikan jenis apa yang kalian goreng?” tanyanya penasaran. “Hanya ikan biasa. Kenapa?” jawab pemuda itu cemas. Ia nampaknya takut ketahuan bahwa ikan yang digorengnya sebenarnya adalah Jinnande Teremombonga. “Apakah ikannya besar? Apakah kau menangkapnya di lautan?” tanya La Moelu mendesak pemuda itu. Karena merasa terdesak, akhirnya pemuda itu membuat pengakuan. “Iya, kamu benar. Ikannya berukuran besar dan aku menangkapnya di lautan. Memangnya kenapa hai anak yatim?” ucapnya dengan nada mengejek. Betapa sakit hati La Moelu mendengar ucapan tersebut. Lalu, pemuda itu memberinya tulang Jinnande Teremombonga. “Ini aku berikan tulang ikannya. Karena dagingnya sebagian sudah kujual dan sisanya akan kami makan. Anggap saja ini kenang-kenangan buatmu,” ucapnya. Tentu saja La Moelu menerima tulang ikan itu. Sepanjang jalan, ia menangis tersedu. Ia tak menyangka teman yang ia rawat selama ini dimakan oleh tetangganya sendiri. Ayahnya lalu meminta La Moelu untuk mengubur Jinnande Teremombonga di belakang rumah mereka. Ia pun menuruti kata sang ayah. Karena masih bersedih, ia pun menangis di atas makam Jinnande Teremombonga. Sebuah Keajaiban Terjadi Keesokan harinya, La Moelu hendak memberikan sedikit air pada makam Jinnande Teremombonga. Ia tak ingin temannya kekeringan. Namun, betapa terkejut dirinya mendapati makam temannya ditumbuhi oleh pohon ajaib. Pohon itu berbatang emas, berdaun perak, berbunga intan, dan berbuah berlian. Karena terkejut, La Moelu pun berteriak, “Ayah, ayah! Kemarilah, Yah! Lihatlah pohon ini.” Sang ayah langsung mengambil tongkatnya dan berjalan ke belakang rumah. Alangkah terkejut dirinya memandang pohon itu. “Ini adalah berkah yang Tuhan berikan karena kamu telah merawat Jinnande Teremombonga dengan baik. Rawatlah pohon ini sebagaimana kamu merawat temanmu Jinnande Teremombonga,” ucap sang ayah dengan bijak. Sesuai perintah ayahnya, La Moelu merawat pohon itu dengan baik. Setiap pagi, ia menyirami dan memotong rumput-rumput di sekitar pohon itu. Sesekali, ia mengajaknya ngobrol. La Moelu menganggapnya seperti teman sendiri. Semakin hari, pohon itu semakin besar. Daun dan buahnya mulai berguguran. La Moelu mengambil daun-daun dan bunga itu lalu menjualnnya ke pasar. Tentu saja hal itu membuat ia dan ayahnya menjadi kaya raya. Meski begitu, mereka tak tamak. Ketika ada tetangganya yang mengalami kesulitan, mereka dengan senang hati membantu. Mereka juga tak gelap mata. Meski bisa menghasilkan banyak uang, mereka tak akan memetik bunga, daun, atau buah sebelum berguguran sendiri dari pohonnya. Suatu hari, ketiga pemuda yang dulu menangkap dan membunuh Jinnande Teremombonga datang ke rumah La Moelu. Mereka meminta maaf pada anak kecil itu. Bagaimana tidak, mereka ternyata sakit-sakitan setelah memakan daging Jinnande Teremombonga. Tubuh mereka gatal dan bersisik. Uang hasil penjualan ikan itu pun tak cukup buat berobat. Dengan ketulusan hati, La Moelu memaafkan mereka. Ia juga berpesan pada mereka agar tak mengambil lagi milik orang lain. Baca juga Cerita Rakyat Asal-Usul Ikan Pesut Mahakam dan Ulasan Menariknya, Sebuah Pelajaran Bagi Orang Tua Unsur Intrinsik Setelah membaca cerita rakyat La Moelu, apakah kamu penasaran dengan unsur intrinsiknya? Buat yang penasaran dengan ulasan seputar tema hingga pesan moralnya, langsung saja baca informasi di bawah ini; 1. Tema Inti cerita atau tema dari cerita rakyat La Moelu adalah tentang kasih sayang antar sesama makhluk hidup. Dengan ikhlas dan sungguh-sungguh, seorang anak laki-laki merawat ikan hasil tangkapannya. Meski telah dibebaskan di lautan, ia tetap memberi makan ikannya itu. Tak hanya itu saja, legenda ini juga mengisahkan tentang seorang anak yang pekerja keras. Meski hidup tanpa seorang ibu dan harus merawat ayahnya yang sudah tua, ia tak pernah mengeluh. 2. Tokoh dan Perwatakan Tokoh utama dalam cerita rakyat ini adalah La Moelu dan ayahnya. La Moelu digambarkan sebagai anak kecil yang tangguh dan pekerja keras. Meski kehidupannya mengalami kesulitan, ia tak pernah mengeluh. Ayahnya juga memiliki sifat yang tak kalah baik. Ia merupakan sosok ayah yang bijak dan pengertian. Hanya saja, ia sudah berusia senja sehingga tak kuasa untuk membantu anaknya bekerja. Dalam kisah ini juga terdapat tokoh antagonis, yakni tiga pemuda bersaudara yang merupakan tetangga La Moelu. Mereka adalah pembuat konflik dalam kisah ini yang digambarkan bersikap dingin, jahat, dan tidak punya hati nurani. 3. Latar Legenda yang berasal dari Sulawesi Tenggara ini menggunakan beberapa latar tempat. Beberapa di antaranya adalah rumah La Moelu, sungai tempat ia memancing, rumah tetangganya, dan belakang ruma 4. Alur Cerita Rakyat La Moelu Menceritakan plot dari awal hingga akhir secara berurutan, cerita rakyat La Moelu ini memiliki alur maju. Cerita bermula dari seorang anak yatim piatu yang tak sengaja menangkap ikan kecil. Ia memutuskan untuk memelihara ikan kecil itu. Namun, semakin hari, tubuh hewan tersebut semakin membesar. Akhirnya, La Moelu melepasnya ke lautan luas. Sebelum melepasnya, ia memberi nama ikannya Jinnande Teremombonga. Tiap pagi, ia memanggil Jinnande Teremombonga dan memberinya makan. Sayangnya, Jinnande Teremombonga ditangkap dan dibunuh oleh tetangga La Moelu. Mereka memakan dan menjualnya. Tentu saja La Moelu bersedih mendapati ikannya telah mati. Ia lalu membawa tulang temannya itu ke rumah dan menguburnya. Keeseokan harinya, keajaiban pun terjadi. Tulang ikan tersebut berubah menjadi pohon ajaib yang mengubah kehidupan La Moelu dan ayahnya. 5. Pesan Moral Setiap cerita rakyat Nusantara memiliki amanat atau pesan moral. Tak terkecuali cerita rakyat La Moelu. Kira-kira, apa sajakah pesan moral yang bisa kamu petik dari legenda ini? Tentu saja ada beberapa pesan moral, salah satunya adalah jadilah pekerja keras seperti La Moelu. Meski masih kecil, ia berkewajiban untuk menghidupi dirinya sendiri dan ayahnya. Setiap hari, ia mencari ikan tuk dimakan dan kayu bakar tuk dijualnya. Meski kehidupannya berat, ia tak pernah mengeluh. Dari tokoh utama ini, belajarlah untuk menyayangi seseama ciptaan Tuhan. Ia dengan baik dan hati-hati menjaga serta merawat Jinnande Teremombonga yang merupakan ikan peliharaannya. Cerita ini juga mengajarkan kamu untuk selalu berbakti dan menuruti perkataan orang tua. La Moelu selalu meminta izin dan pendapat dari ayahnya, serta menuruti nasihatnya. Ia tak pernah sekali pun membantah sang ayah. Berikutnya, jadilah orang yang sederhana dan tak tamak. Meski memiliki pohon berbatang emas, berdaun perak, berbunga intan, dan berbuah berlian, La Moelu dan ayahnya tidak sombong. Mereka justru kerap membantu tetangga yang sedang mengalami kesulitan. Pesan terakhir adalah jangan mengambil apa pun yang bukan milikmu, seperti yang dilakukan tiga pemuda dalam legenda ini. Karena mencuri ikan milik La Moelu, mereka pun terkena penyakit yang tak kunjung sembuh. Selain unsur-unsur intrinsiknya, jangan lupakan juga unsru ekstrinsik yang membangun cerita rakyat La Moelu. Unsur ekstrinsik ini biasanya berhubungan dengan nilai moral, sosial, dan budaya. Baca juga Cerita Rakyat Ular Kepala Tujuh dari Bengkulu & Ulasan Menariknya, Bukti Kerendahan Hati dan Keberanian Bisa Mengalahkan Kekejian Fakta Menarik Tak banyak fakta menarik yang dapat diulik dari cerita rakyat La Moelu ini. Berikut adalah ulasan singkatnya; 1. Ada Versi Cerita Lainnya Legenda atau cerita rakyat memang umumnya memiliki beberapa versi cerita. Begitu pula dengan cerita rakyat La Moelu. Ada satu versi cerita yang mengisahkan bahwa La Moelu tidak menghampiri rumah tetangganya yang menangkap Jinnande Teremombonga. Ia melihat sendiri tetangganya itu sedang menangkap Jinnande Teremombonga di laut. Tubuhnya yang terlalu kecil tak kuasa melawan tiga pemuda yang merupakan tetangganya itu. Bahkan, di depan matanya sendiri, La Moelu menyaksikan ikannya dimakan oleh ketiga pemuda tersebut. Tak ada hentinya anak kecil itu menangisi temannya. Usai memakan Jinnande Teremombonga, ketiga pemuda itu pun pergi meninggalkan tulang belulang. Dengan hati yang terluka, La Moelu mengumpulkan tulang ikan itu dan menguburnya di halaman rumah. Saat air matanya menetes di kuburan ikannya, tiba-tiba saja sebuah pohon tumbuh dari tanah itu. Ajaibnya, pohon itu berbatang emas dan berdaun perak. Baca juga Kisah tentang Si Kelingking Asal Jambi dan Ulasan Lengkapnya, Pelajaran untuk Tidak Meremehkan Penampilan Fisik Seseorang Suka dengan Cerita Rakyat La Moelu? Nah, inilah akhir dari artikel yang membahas cerita rakyat La Moelu beserta unsur intrinsiknya. Apakah kamu suka dengan kisahnya? Kalau suka, jangan ragu tuk membagikan artikel ini pada teman-temanmu, ya. Kalau kamu masih butuh kisah lainnya, langsung saja cek kanal Ruang Pena pada Ada cerita legenda Oheo, kisah Putri Gading cempaka, asal usul Danau Toba, dan masih banyak lainnya. Selamat membaca! PenulisRinta NarizaRinta Nariza, lulusan Universitas Kristen Satya Wacana jurusan Pendidikan Bahasa Inggris, tapi kurang berbakat menjadi seorang guru. Baginya, menulis bukan sekadar hobi tapi upaya untuk melawan lupa. Penikmat film horor dan drama Asia, serta suka mengaitkan sifat orang dengan zodiaknya. EditorKhonita FitriSeorang penulis dan editor lulusan Universitas Diponegoro jurusan Bahasa Inggris. Passion terbesarnya adalah mempelajari berbagai bahasa asing. Selain bahasa, ambivert yang memiliki prinsip hidup "When there is a will, there's a way" untuk menikmati "hidangan" yang disuguhkan kehidupan ini juga menyukai musik instrumental, buku, genre thriller, dan misteri.
cerita rakyat dari Sulawesi tenggara la ode di Tokopedia ∙ Promo Pengguna Baru ∙ Cicilan 0% ∙ Kurir Instan.
Mawasangka merupakan penamaan yang ditujukan bagi kelompok masyarakat yang ada di Sulawesi Tenggara. Mawasangka merupakan kelompok masyarakat yang mendiami sebuah kecamatan di Kabupaten Buton Tengah, Provinsi Sulawesi Tenggara. Nama Mawasangka tidak hanya ditujukan untuk kelompok masyarakat, tetapi juga diabadikan dalam nama sebuah Mawasangka pada orang-orang di Kecamatan Mawasangka, Kabupaten Buton Tengah, menyimpan kisah yang panjang. Baca juga Cerita Rakyat Batu Kurimbang Alang Asal Usul Nama Mawasangka Menurut tradisi lisan masyarakat Sulawesi Tenggara, khususnya di Kabupaten Buton Tengah, di balik nama Mawasangka ada kisah yang panjang menyertainya. Dikisahkan, dahulu ada sebuah keluarga yang datang dari Bone menuju Buton dengan menggunakan perahu. Tujuan kedatangan mereka ke Buton adalah untuk mencari kakak dari seorang perempuan. Perempuan itu pergi ke Buton bersama suaminya. Kakaknya perempuan ini telah lama meninggalkan tanah kelahirannya di Bone sepeninggal orang tuanya. Ketika dalam perjalanan menuju lokasi yang menjadi tempat kepergian kakaknya ini, cuaca kurang bersahabat dengan mereka. Perahu yang mereka tumpanginya kemudian terbalik. Bekal tak dapat diselamatkan, kecuali hanya seekor ayam jantan. Akibatnya suami istri itu terdampar di sebuah pantai dan mendirikan pondok kecil dan mencari makan di sekitar pantai tersebut. Di saat suaminya sedang mencari makanan ke hutan, munculah seorang pemuda yang membawa seekor ayam jantan. Baca juga Cerita Rakyat Batu Prasasti Pagaruyung I Pemuda ini berniat menyabung ayam miliknya dengan seekor ayam di pantai itu yang tidak lain adalah milik pasangan suami istri tadi. Anehnya, kedua ayam tersebut tidak mau berkelahi. Pemuda ini pun bingung dengan kedua ayam yang tak biasanya itu. Di tengah kebingungannya, pemuda ini melihat seorang perempuan di pondok. Ketika suami sang perempuan telah kembali, pemuda ini pun menghampiri mereka. Ketika sedang berbincang, pemuda dan perempuan ini menyadari ada yang janggal. Mereka berdua sama-sama mengenakan cincin yang sama di jarinya yang merupakan pemberian dari mendiang orang tuanya. Perempuan ini kemudian menyadari bahwa pemuda yang membawa ayam ini adalah cerita, pemuda tadi memberitahukan lokasi yang layak untuk bermukim. Kemudian, berangkatlah mereka ke lokasi yang bernama Mparigi. Di Mparigi, mereka hidup seperti biasanya dan beranak-pinak sehingga lama kelamaan kampung itu telah ramai oleh masyarakat. Kemudian, masyarakat mengangkat pemuda tadi seorang kepala suku mereka yang disebut dengan Kolakino Mparigi. Desa yang mereka tempati suatu ketika mulai sering mendapat serangan dari binatang. Akhirnya, kepala suku Mparigi melaporkan keluhannya kepada kepala suku lain, Kolakino La Mansenga. Kemudian oleh kepala suku itu, diberitahukan ada sebuah lokasi yang aman dan damai. Lokasi ini memiliki sebuah pohon besar yang daun dan buahnya beraneka ragam. Oleh karena itu, lokasi baru ini diberi nama Sau Sumangka yang artinya serba lengkap. Mereka kemudian memindahkan kampungnya di sana. Baca juga Danau Biru Kolaka Daya Tarik, Cerita Rakyat, dan Rute Setelah sekian lama, Kolakino Mpagi mendeklarasikan bahwa ialah yang pertama kali menemukan pohon ajaib itu. Namun, Kolakino La Mansenga menyangkal klaim dari Mparigi hingga terjadilah pertengkaran antara keduanya. Akibatnya, Mpasenga mengeluarkan sumpah di hadapan masyarakat, apabila benar ia yang pertama menemukan pohon itu, maka tanah sekitar pohon itu akan selalu ditimpa musibah bilmana suku Kolakino Mparigi mengelolanya. Sebaliknya, jika benar Mparigi yang pertama menemukan pohon ajaib itu, maka semoga senantiasa dilimpahi keselamatan. Benar saja, terjadilah musibah-musibah aneh di sekitar pohon itu yang berarti Kolakino La Mansenga merupakan orang pertama yang menemukan pohon itu. Semua yang ditanam oleh rakyat Mparigi mengalami gagal panen, segala ternak mengalami kematian tidak jelas, serta terjadilah musibah-musibah lainnya. Kejadian aneh yang lain adalah ketika seorang menggali ubi, tiba-tiba memancarkan air dari galian itu yang mengakibatkan kebun-kebun tergenang dan masyarakat kelaparan. Tetua dusun kemudian berunding akan melakukan upacara adat membersihkan musibah. Kemudian, disembelihlah ayam yang dibawa oleh sepasang suami istri dari Bone itu sebagai persembahan agar tidak terjadi lagi musibah. Kemudian, tempat itu dikenal dengan nama pohon ajaib itu, La Sumangka. Lambat laun, masyarakat menyebutnya menjadi Mawasangka. Baca juga Cerita Rakyat Antu Bisiak, Misteri Suara Bisikan Referensi Rasyid, A. 1998. Cerita Rakyat Buton dan Muna di Sulawesi Tenggara. Jakarta Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Jakarta. Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari Mari bergabung di Grup Telegram " News Update", caranya klik link kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.
CeritaRakyat Sulawesi Tenggara La Sirimbone Kisah ini berawal dari seorang pedagang kain yang jatuh cinta pada pada beranak satu bernama Wa Roe. Ia berjanji akan menyayangi anak tirinya juga, tapi ia mengingkari janjinya. Ia jadi sering menyiksa anaknya itu. Sang ibu yang tak tahan putranya disiksa memutuskan untuk meninggalkannya di hutan.Setiap daerah di Indonesia memiliki cerita rakyat atau legenda yang bersifat fiktif dan nyata pada zaman dahulu, cerita ini diwariskan secara turun-temurun secara lisan dari sebuah kejadian yang terjadi pada masyarakat pada zaman tersebut. Kamu mungkin lebih mengenalnya sebagai dongeng, akan tetapi terlepas dari itu fiktif atau nyata, cerita-cerita legenda ini juga mengandung ajaran moral yang dapat diambil, selain itu juga bisa sebagai penghibur. Apa itu Cerita Legenda Cerita legenda adalah cerita rakyat pada zaman dahulu yang berhubungan dengan peristiwa sejarah dan mengisahkan kehidupan seorang tokoh, peristiwa, kejadian atau suatu tempat. Legenda merupakan sebuah cerita prosa rakyat yang diasumsikan benar-benar terjadi secara sejarahnya, walaupun seringkali mengalami distorsi sehingga tidak sama dengan cerita aslinya. Menurut Jan Harold Brunvand terbagi menjadi 3 kelompok cerita legenda sebagai berikut Cerita legenda keagamaan yang menceritakan tentang tokoh-tokoh agama, tentang hal luar biasa yang terjadi yang diceritakan dalam kitab suci tertentu. Cerita legenda alam gaib menceritakan dunia supranatural yang berkaitan dengan kepercayaan atau pengalaman seseorang tentang dunia gaib Cerita legenda perorangan yang menceritakan tokoh tertentu di suatu daerah, umumnya kisahnya menceritakan keterkaitan dengan tempat tinggal atau asal suatu nama tempat di suatu daerah Legenda Batu Babi dan Anjing Cerita Rakyat dari Kalimantan TengahOleh Noorhadi Terlihat sebuah jukung membelah air. Seorang laki-laki dengan tenang mengayuh dayung. Laki-laki itu berumur kira-kira 30 tahun. Wajahnya memperlihatkan ketenangan. Matanya teduh, meskipun tampak kelelahan samar di wajahnya. Seekor anjing tegak berdiri di ujung depan perahu mengamati sekeliling dengan ekor mengibas ke kiri kanan, layaknya seorang panglima yang mengawasi anak buahnya. Anjing itu bangga karena menjadi pengawal bagi tuannya. Senja keemasan segera menghilang dari langit saat perahu kecil itu menepi ke daratan. Dengan lompatan kecil, anjing tadi mendarat dengan mulus di atas tanah. Sementara, laki-laki itu naik ke daratan lalu menarik perahu ke daratan dan mengikatkan tali yang terkait di perahu ke sebuah tonggak kayu yang sengaja ditancapkan di pinggir danau itu. Danau Sembuluh namanya, sebuah danau yang cukup luas dan dalam. Berbagai macam ikan hidup di dalamnya sebagai sumber penghidupan penduduk di sekitarnya. Secukupnya untuk keperluan sehari-hari, selebihnya dijual dalam keadaan segar dan dijemur untuk dijadikan ikan kering berlumuran garam. Sebuah rumah berdiri tak jauh dari tepi danau yang dihuni oleh seorang laki-laki dan anjingnya. Tampak rumah itu sudah sangat lama didirikan. Terlihat beberapa lubang di dinding yang terbuat dari papan kayu dan warna kayunya pun sudah berubah. Lapuk. Rumah panggung berdinding papan dan beratap daun rumbia. Rumah yang tidak terawat. Bertebaran daun kering di halaman depan, samping maupun belakang. Sumber “Legenda Batu Babi dan Anjing”. Rumah Belajar, Diakses pada 10 Maret 2023Burung Ajaib Cerita rakyat dari Kutai, Kalimantan TimurOleh Dina Alfiyanti Fasa Suatu pagi, cuaca di Kerajaan Rimba Belantara terlihat cerah. Penghuninya adalah binatang dari berbagai jenis yang berperilaku seperti manusia. Setiap jenis binatang memiliki raja masing-masing. Pemegang kedudukan tertinggi adalah Pemimpin Agung yang dijabat oleh Raja Pelanduk. Sesuai dengan namanya, kerajaan itu terletak di kawasan hutan belantara yang dikelilingi lautan luas. Pohon-pohon besar berdiri kokoh di pinggir-pinggir negeri yang menjadi gerbang masuk ke kawasan Kerajaan Rimba Belantara. Makin ke dalam makin pekat dan gelap oleh rimbunan dedaunan. Negeri itu berbukit-bukit dan jarang didatangi manusia. Di belakang bukit sebelah barat rombongan rusa yang dipimpin rajanya tengah merumput. Di atas pohon-pohon besar sekawanan monyet bergelantungan tengah makan buah-buahan. Begitu pula burung-burung ikut merubung pohon senduru yang tengah berbuah. Sementara di bawah pohon, pasukan singa tengah bermalasmalasan. Setelah memegang tampuk kekuasaan, Raja Pelanduk berhasil menyelesaikan konflik antarbangsa binatang di Kerajaan Rimba Belantara yang sangat luas itu, misalnya konflik antara bangsa Semut dan Gajah, konflik Serigala dengan Kambing, serta konflik Kera dengan Singa. Semua persoalan dalam kerajaan itu, satu per satu, bisa diselesaikannya dengan baik. Dengan kecerdikannya sebagai Pemimpin Agung, Raja Pelanduk bisa memecahkan setiap persoalan yang muncul di kerajaannya. Dengan kebijaksanaannya, semua persoalan ditangani dengan baik. Walaupun dia bersikap baik, dia tidak segan-segan bersikap tegas jika keadaan mengharuskan seperti itu. Dia pun bisa bersikap menghibur jika suasananya cocok untuk itu. Gambaran pelanduk yang cerdik, bijaksana, tegas, dan lucu benar-benar sesuai dengan kenyataannya. Untuk itu, Raja Pelanduk atau Pemimpin Agung terkenal di seluruh negeri dan mendapat kepercayaan penuh dari rakyatnya, bangsa binatang. Akhir-akhir ini Pemimpin Agung banyak termenung di singgasana kebesarannya, sebuah batu marmer mengkilap yang dikhususkan untuknya. Waktu begitu cepat berlalu. Kejayaan masa lalu Kerajaan Rimba Belantara segera berganti. Mmm … mengapa semuanya begitu cepat? Dulu sepanjang mata memandang hanya kehijauan dan kesuburan. Kini semua itu terkikis secara perlahan. Pohon-pohon di bukit mulai meranggas. Sumber “Burung Ajaib”. Rumah Belajar, Diakses pada 10 Maret 2023Kisah Terjadinya Danau Makete dan Danau Galelo Kisah ini merupakan lanjutan dari cerita tentang asal-usul nama Danau Lina serta timbulnya pulau-pulau di depan Tobelo. Kita kembali lagi kepada Sultan Gajadean yang bernama Kobubu dan saudara perempuannya Mama Ua. Kobubu kini telah dewasa, tapi belum beristri. Pada suatu hari ia mendapat wangsit/ilham bahwa ada seorang putri dari kayangan yang berdiam di Galela. Dia berangkat ke sana, dan setelah bertanya ke sana ke mari, bertemulah dia dengan putri tersebut di suatu kampung yang bernama Gobula di Galela. Menurut cerita, putri ini adalah anak Sultan Tidore yang hamil di luar nikah sehingga sultan bermaksud membunuhnya. Karena itu dia melarikan diri dan sampailah di Seli di mana dia melahirkan bayinya. Bayi tersebut ditinggalkan di Seli, kemudian meneruskan perjalanannya sampai ke Galela. Beberapa kali Kobubu pergi ke Galela dan bertemu dengan putri tersebut, sehingga akhirnya dia jatuh cinta dan berhasil menga wini- nya. Sesudah nikah, untuk sementara waktu dia tinggal di Galela, sampai akhirnya setelah cukup lama di Galela dia bermaksud untuk kembali ke Tobelo dengan memboyong istrinya. Namun orang Galela tidak semudah itu melepaskannya pergi sebelum dia memberi ganti rugi, mengingat bahwa putri tersebut telah lama mereka pelihara. Kobubu kemudian bertanya apa yang harus diberikan sebagai ganti rugi. Mereka lalu minta diberikan sebuah telaga danau kalau dapat, sebab selama ini mereka sangat kekurangan air. Kobubu menyetujui usul itu, lalu kembalilah ia ke telaga Lina, mengambil air danau itu dengan sebuah batok tempurung kelapa. Sesampai di Galela, air dalam batok tersebut ditumpahkan ke tanah dan berubahlah menjadi sebuah telaga danau, namun karena dirasakannya terlalu kecil, mereka minta dibuat yang lebih besar. Danau tadi dinamakan Danau Makete, karena Kecil. Kembali pula Kobubu ke Danau Lina, dan menampung air dalam sehelai daun teratai serta ditumpahkannya ke tanah. Maka berubahlah air itu menjadi Danau Galela. Setelah selesai melaksanakan tuntutan ganti rugi tersebut, pulanglah Kobubu ke Tobelo bersama istrinya. Bagairnana dengan Marna Ua? Setelah saudara laki-lakinya menikah, dia menghilang dan menurut cerita dia muncul di Loloda bagian barat Halmahera Utara. Sumber “Cerita Rakyat Maluku”. Diakses pada 10 Maret 2023Raja Subrata Cerita Rakyat dari Jawa TengahOleh Ririen Ekoyanantiasih Di negeri Banjarharja bertahtalah seorang raja yang bernama Raja Subrata. Permaisurinya bernama Dewi Susilawati. Raja Subrata mempunyai dua orang putra mahkota yang bernama Pangeran Aditya dan Pangeran Yuda. Pemerintahan Raja Subrata dibantu oleh seorang patih yang bernama Patih Jaya. Berkat kejujuran dan ketekunannya, ia menjadi tangan kanan raja. Hal itu membuat iri hati Ki Tua. Ki Tua adalah seorang juru tenung kerajaan. Ia dipercaya menjadi ketua juru tenung di kerajaan karena ramalannya selalu tepat. Kepandaian Ki Tua sangat terkenal, tetapi tidak didukung oleh sikap yang baik. Ia selalu iri kepada orang lain, terlebih-lebih kepada Patih Jaya. Suatu hari raja mengeluarkan pengumuman. Rakyat Banjarharja berkumpul di lapangan, hendak mendengarkan keputusan raja yang akan disampaikan oleh Patih Jaya. “Demikian tadi putusan Raja, wahai rakyatku semuanya. Jadi, mulai hari ini janganlah kalian menyembah berhala lagi, tetapi menyembah dan memohon pertolonganlah kepada Tuhan Yang Mahakuasa,” kata Patih dengan suara keras dan tegas. Raja Subrata ingin rakyatnya percaya kepada Tuhan Yang Mahakuasa, Tuhan yang menciptakan alam semesta ini beserta seluruh penghuninya. Keputusan raja tersebut membuat sebagian orang merasa tidak aman, terutama para juru tenung. Sumber “Raja Subrata”. Diakses pada 10 Maret 2023Lipi Poleng Tanah Lot Cerita Rakyat dari BaliOleh I Nyoman Argawa Terus berjalan menyusuri tepi pantai selatan menuju ke arah tenggara, akhirnya tibalah beliau di sebuah tempat, yaitu Alas Kendung. Areal hutan yang tak terlampau luas ini disesaki tumbuhan pohon kendung, yang tinggi dan besar pula. Dang Hyang Nirartha melakukan yoga semadi di tempat ini seraya memohon petunjuk untuk menemukan sinar yang pernah dilihatnya. Ketika itulah datang Bendesa Beraban menemui Dang Hyang Nirarta menyampaikan bahwa tanaman padi di wilayahnya dilanda wabah penyakit. Dang Hyang Nirarta menjelaskan bahwa wabah itu disebabkan oleh makhluk bernama Bhuta Bebahung. Beliau lalu menghadiahkan sebilah keris bernama Ki Baru Gajah kepada Bendesa Beraban untuk melenyapkan Si Bhuta Bebahung. Beliau juga berpesan kepada Bendesa Beraban agar membangun pura di tempat tersebut. Pura yang telah dibangun itu diberi nama Pura Luhur Pakendungan. Saat pelaksanaan upacara, keris Ki Barus Gajah agar diberi sesaji dan memohon kepada Tuhan Yang Mahakuasa agar sirna semua hama yang menyerang tanaman padi mereka. Berdasarkan petunjuk yang diperoleh saat menggelar yoga semadi di Alas Kendung, akhirnya sampailah beliau pada sinar dimaksud. Ternyata sinar itu adalah sebuah sumber mata air tawar yang berada di tengah deburan air laut yang asin. Letaknya hanya beberapa langkah lagi dari Alas Kendung. Tidak jauh dari sumber mata air tersebut, beliau menemukan sebuah tempat yang panorama keindahannya tiada tara. Tempat ini disebut Gili Beo. Gili artinya batu karang’, beo artinya burung’. Jadi, tempat itu adalah sebuah batu karang besar berbentuk menyerupai burung beo. Di sinilah beliau melakukan meditasi dan pemujaan kepada Dewa Baruna, perwujudan Tuhan sebagai penguasa laut. Sumber “Lipi Poleng Tanah Lot”. Diakses pada 10 Maret 2023Asal-Usul Danau Maninjau Cerita Rakyat dari Sumatera BaratOleh Agus Sri Danardana Kamanakan barajo ka mamak, mamak barajo ka panghulu, panghulu barajo ka mufakat, mufakat barajo ka nan bana, bana manuruik alua jo patui Petitih itu membentangkan struktur pemerintahan menurut adat. Kemenakan dan mamak sama-sama berada dalam hukum adat di nagari. Namun, yang memegang kekuasaan tertinggi tetaplah kebenaran, dilaksanakan menurut alur dan kepatutan. Keputusan sudah dibuat. Bujang Sembilan dan seluruh masyarakat merasa paling benar. Meskipun Datuk Limbatang, baik sebagai mamak maupun datuk kaum itu, telah berusaha meluruskan kesalahpahaman tersebut, masyarakat tetap menganggap Giran dan Siti Rasani bersalah. Matahari telah terbenam. Suasana di kaki gunung itu mencekam. Para penduduk menyalakan obor. Mereka berduyun-duyun menyusuri lereng gunung. Sesampai di mulut kawah, suasana mendadak sepi dan hening. Hanya suara burung gagak yang sesekali terdengar serta suara gemuruh dari dalam kawah. Dengan suara berat Kukuban pun berkata, “Kudun, ambil kain hitam itu, tutup mata mereka!” Dengan sigap Kudun mengambil kain hitam dari tangan Balok. Ia menutup mata adiknya dan Giran dengan kain itu. Suasana kembali hening. Terlihat Bujang Sembilan berbisik-bisik merundingkan sesuatu. Sementara itu, Datuk Limbatang hanya berdiri lunglai di antara kerumunan kaumnya. Ia tak berdaya. Sumber “Asal-Usul Danau Maninjau”. Diakses pada 10 Maret 2023Jaka Prabangkara Cerita Rakyat dari Jawa TimurOleh Fairul Zabadi Jaka Prabangkara adalah putra Raja Majapahit Prabu Brawijaya V yang terlahir dari seorang perempuan keturunan rakyat biasa. Sang raja bertemu dengan ibunda Prabangkara saat sedang menyamar sebagai rakyat biasa untuk mengetahui kondisi rakyat di luar istana. Ketika menyamar, sang Raja mengenakan pakaian rakyat seperti pada umumnya. Biasanya, ia ditemani oleh dua orang pembantu setianya yaitu si Semut dan si Gatel. Setelah lama berkeliling melihat kondisi rakyat, sang Raja merasa lelah dan ingin beristirahat. Kebetulan di dekat sang Raja duduk ada satu rumah milik seorang mantri jagal. Sang Mantri Jagal mempersilahkan kepada sang Raja dan pembantu setianya untuk beristirahat di rumahnya. Tawaran itu diterima dengan senang hati oleh sang Raja. Sang Mantri Jagal memiliki anak perempuan, seorang janda kembang yang cantik. Sang Raja tertarik dengan anak sang mantri tersebut. Terjadilah hubungan percintaan antara raja Majapahit yang sedang menyamar dan putri sang Mantri Jagal. Beberapa bulan kemudian, lahirlah seorang bayi lelaki yang sehat dan rupawan, hasil hubungan percintaan mereka. Bayi tersebut diberi nama Raden Jaka Prabangkara. Sayangnya, sang Raja tidak mau mengakui secara terangterangan bahwa Jaka Prabangkara adalah putranya. Sumber “Jaka Prabangkara”. Diakses pada 10 Maret 2023 Raja Indra Pitara Cerita Rakyat dari Sulawesi TenggaraOleh Rahmawati Dahulu kala, di Kerajaan Burinaga, bertahta seorang raja yang memerintah dengan arif dan bijaksana. Rakyatnya dapat bekerja dengan aman dan tenang sehingga kehidupan mereka sejahtera. Sayangnya, kehidupan keluarga sang raja terasa belum lengkap karena belum hadirnya seorang putra yang diharapkan dapat menjadi penerus kerajaan. Berbagai usaha telah dilakukan oleh raja dan permaisuri. Tak terbilang banyaknya orang pintar dari berbagai penjuru kerajaan yang dipanggil ke istana untuk mencari penyebab yang membuat raja belum dikaruniai keturunan. “Andaikata Yang Kuasa berkenan memberiku seorang anak, aku akan ikhlas sekalipun tidak melihat jasadnya.” Suara itu terdengar perlahan, tetapi di dalamnya tersirat sejuta kegalauan. Terlihat kemasygulan dalam raut wajah sang raja. “Kanda!” Permaisuri yang sedang duduk menenun terkejut, seketika ia menghentikan tenunannya. “Kenapa, Adinda? Saya kira Dinda mengerti perasaan Kanda. Umur kita kian hari semakin bertambah. Kerajaan ini butuh seorang penerus. Saya tidak bisa bayangkan bagaimana nasib kerajaan ini jika nantinya kita sudah tua dan belum punya anak.” “Perasaan kita sama, Kanda. Kecemasan, kebimbangan Kanda juga Dinda rasakan. Saya yakin semua ada jalan keluarnya. Kita tidak boleh berputus asa dari rahmat-Nya. Kita harus sabar, Kanda. Kita tidak boleh lelah berdoa dan berusaha. Dinda yakin kalau kita terus-menerus meminta kepada-Nya pasti akan diberi keturunan.” Hari demi hari berlalu. Sebulan sejak percakapan itu, permaisuri pun hamil. Kehamilan permaisuri disambut dengan penuh kebahagiaan. Kebahagiaan tidak saja dirasakan oleh raja dan permaisuri, tetapi juga oleh seluruh rakyat Kerajaan Burinaga. Permaisuri mendapat perlakuan yang sangat istimewa baik dari raja maupun dari orang-orang yang ada di sekelilingnya. Semasa kehamilan tersebut, perhatian dan kasih sayang raja hanya tertuju kepada permaisuri. Apa pun yang ingin dimakan oleh permaisuri segera disiapkan. Sumber “Raja Indra Pitara”. Diakses pada 10 Maret 2023 Pangeran Purbaya dan Raksasa Jin Sepanjang Cerita Rakyat dari DI YogyakartaOleh Herry Mardiyanto Sudah larut malam, namun Panembahan Senopati masih saja termenung di beranda keraton. Sesekali ia menarik napas panjang, menerawang kegelapan malam. Kegelisahan terus mengendap di dalam hatinya. “Tak usah cemas Ingkang Sinuwun. Hamba setuju dengan rencana perluasan Kerajaan Mataram. Terlebih rencana itu untuk menyejahterakan rakyat Mataram.” Panembahan Senopati memandang jauh ke depan menembus kepekatan malam. Di kejauhan terdengar suara jangkrik berkepanjangan. “Akan tetapi, aku tak ingin terjadi peperangan yang bisa menimbulkan korban,” ujar Panembahan Senopati memecah kesunyian. “Hamba juga sependapat dengan pemikiran Ingkang Sinuwun,” lanjut Ki Gede Panembahan yang tetap duduk di sudut ruangan. Di depannya terletak meja marmer bundar dengan dua cangkir wedang jahe yang masih mengepul hangat. “Lalu, apa yang harus kita lakukan? Bagaimana caranya memperluas wilayah kekuasaan tanpa menyerang kerajaan lain?” Sumber “Pangeran Purbaya dan Raksasa Jin Sepanjang”. Diakses pada 10 Maret 2023 Pertarungan Sultan Maulana Hasanuddin dan Prabu Pucuk Umun Cerita Rakyat dari BantenOleh Nur Seha Dihikayatkan pada zaman dahulu kala, hiduplah seorang sultan bernama Sultan Maulana Hasanuddin. Ia adalah sultan pertama di Banten yang sangat berpengaruh dalam penyebaran agama Islam di Banten. Beliau mendapat gelar Pangeran Sabakingking atau Seda Kinkin, dari kakeknya, yaitu Prabu Surasowan, yang pada masa itu menjabat sebagai bupati di Banten. Sultan Maulana Hasanuddin sendiri adalah putera kedua dari Syaikh Syarif Hidayatullah, putra Pangeran Cakrabuana atau yang lebih dikenal dengan Sunan Gunung Djati yang merupakan salah satu dari sembilan wali wali sanga dan ibunya yang bernama Nyi Kawunganten putri dari Prabu Surasowan. Suatu hari Prabu Surasowan jatuh sakit. Ia menderita penyakit yang sangat parah. Banyak tabib yang didatangkan ke istana untuk mengobati penyakit beliau. Berbagai macam pengobatan dan ramuan dari dedaunan yang didatangkan dari Gunung Karang, Pulosari, Asepan, dan Pinang, tetapi semuanya berakhir sia-sia ”Sudahlah istriku, tidak usah kau cemaskan keadaanku saat ini. Aku pasti sembuh,” ujar Surasowan sambil menggenggam tangan istrinya. “Bukan begitu Paduka, aku sudah berupaya mendatangkan tabib-tabib ternama dari seluruh Banten untuk mengobatimu. Namun, kau tetap saja terbaring di tempat tidur ini. Maafkan aku, Paduka,” ucap istri Prabu Surasowan. Sumber “Pertarungan Sultan Maulana Hasanuddin dan Prabu Pucuk Umun”. Diakses pada 10 Maret 2023 Kisah Datu Diyang Cerita Rakyat dari Kalimantan SelatanOleh Siti Akbari Nun di sana, tampak rumah sederhana yang dibangun di atas sebuah rakit besar. Bangunan itu terlihat hangat dan bersahaja. Dari balik pintu yang terbuka terlihat susunan rumah yang tertata rapi dan bersih. Angin pun tampak bebas keluar masuk lewat jendela yang terdapat di samping kanan, kiri, depan,dan belakang rumah. Di depan rumah lanting tampak ada tumpukan kajang yang telah siap digunakan. Ada tanggui, tikar, dan bakul yang tersusun rapi. Barang-barang itu telah siap untuk dipasarkan. Adapun di samping rumah berjejer bibit-bibit tanaman. Ada bibit berupa bakal pohon. Ada yang merupakan tanaman untuk ramuan obat-obatan. Ada pula tanaman yang merupakan bahan untuk bumbu masak. Seorang perempuan muda asyik memisah akar enceng gondok dari batangnya. Di sampingnya tampak gundukan akar enceng gondok dan gundukan batang enceng gondok. Apabila tampak sekumpulan enceng gondok akan lewat di hadapannya, ia segera berdiri dan mengambil kayu panjang. Diarahkannya kayu panjang ke kumpulan enceng gondok. Setelah berhasil mendekatkan ke pinggir, dengan segenap kekuatan ditariknya kumpulan enceng gondok tersebut ke hadapannya. Ia tampak senang sekali melihat kumpulan akar enceng gondok yang terlihat hitam mengkilat tertimpa cahaya matahari. Daun hijaunya terlihat hijau segar, tambah lagi dengan bunga ungu enceng gondok yang menyembul di antara rumpun-rumpunnya. Sumber “Kisah Datu Diyang”. Diakses pada 10 Maret 2023 Atuf Sang Penakluk Matahari Cerita Rakyat dari MalukuOleh Rudi Zofid Siapa petarung paling perkasa di seluruh muka Bumi? Orangnya adalah Atuf, lelaki Sifnana yang datang dari Pulau Babar menjadi pahlawan bagi orang Tanimbar. Dia mengalahkan lawannya dalam satu-satunya pertarungan paling dramatis. Lawannya bukanlah sembarang lawan. Bukan juara dunia tinju, juara gulat, atau juara pencak silat. Atuf bertarung melawan Matahari dan dia tampil sebagai pemenang. Tokoh Atuf yang legendaris ini hidup dalam memori masyarakat Maluku Tenggara, khususnya masyarakat yang mendiami Pulau Babar, Selaru, Yamdena, Kei Besar, dan sebagian Nusa Tenggara Timur. Pulau-pulau yang terpisah oleh lautan itu menjadi terhubung karena adanya kesamaan cerita tentang Atuf. Atuf hidup pada zaman purbakala, ketika jarak langit dan bumi sangat dekat. Saking dekatnya, orang di puncak gunung tinggi seakan sanggup menggapai langit dengan lambaian tangan. Pada masa itu, di langit hanya ada Matahari. Bila malam tiba, langit sangat hitam kelam karena belum ada bulan dan bintang-bintang. Bola Matahari berukuran sangat besar dibandingkan dengan Matahari yang ada saat ini. Jarak Matahari dengan bumi pun sangat dekat. Matahari terbit dan terbenam secara tidak teratur. Matahari berlaku seperti makhluk bernyawa sehingga sanggup mengatur pergerakan sendiri dengan seenaknya. Terkadang pada pagi hari, Matahari mengintip saja dari ufuk timur dan tidak menuju ke barat. Akibatnya, orang tidak merasakan adanya senja. Pada hari yang lain, Matahari terbit kemudian berjalan hingga ke atas kepala. Tetapi, setelah itu, kembali lagi ke ufuk timur Sumber “Atuf Sang Penakluk Matahari”. Diakses pada 10 Maret 2023 La Tadamparek Puang Rimaggalatung Cerita Rakyat dari Sulawesi SelatanOleh Andi Herlina Palakka adalah salah satu kerajaan yang cukup makmur, yang diperintah oleh Raja Arung Palakka. Seorang pemimpin yang sangat dicintai oleh rakyatnya. Beliau memerintah dengan adil dan bijaksana. Tidak heran jikalau ia selalu disanjung dan dipuja oleh rakyat Palakka. Namun, di balik kesuksesannya menjadi arung, ada hal yang ia gelisahkan. Di usianya yang sudah tua, ia belum memiliki calon pewaris takhta Kerajaan Palakka. Anaknya We Tenri Lawi yang telah dinikahkan dengan La Tompiwanua, seorang keturunan dari Kerajaan Cinnotabi, belum dianugerahi seorang anak. Setiap hari Arung Palakka tanpa bosan-bosannya memohon kepada dewata agar kelak sebelum ia meninggal, ia memperoleh cucu dari garis keturunannya sendiri. Rakyat Palakka pun turut merasakan kegelisahan Arung. Mereka dengan rela dan ikhlas berdoa semoga di istana lahir seorang anak pewaris Kerajaan Palakka. Setelah menunggu selama bertahun-tahun, akhirnya dewata mengabulkan doa arung dan rakyat Palakka. We Tenri Lawi mengandung setelah bertahun-tahun ia menginginkannya. Kabar kehamilan ini menjadi angin segar bagi seluruh rakyat. Mereka berpesta sebagai tanda syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa atas terkabulkannya doa-doa yang selama ini mereka panjatkan. Arung Palakka tak kalah senang mengetahui putrinya telah mengandung. Beliau merasa bahwa usahanya untuk terus berdoa kepada pemilik alam ini tidaklah sia-sia. Setiap usaha yang diiringi dengan berdoa suatu saat akan terkabul. Sebagai bentuk rasa syukurnya, Arung Palakka berjanji akan mendidik cucunya menjadi seseorang yang cerdas, jujur, bijaksana, dan adil. Sumber “La Tadamparek Puang Rimaggalatung”. Diakses pada 10 Maret 2023 Kain Tenun dan Putra Mahkota Cerita Rakyat dari Jawa BaratOleh Menuk Hardaniwati Senja hampir tiba, matahari hampir sampai di ufuk barat. Kerbau dan sapi di sawah yang kering sudah mendekati dusun di bumi Priangan. Anak-anak gembala bermain riang di tengah sawah yang luas terhampar. Uak kerbau dan lenguh sapi yang berkeliaran ke sana ke mari menggambarkan ketenteraman dan kedamaian desa itu. Dari atap tiap-tiap rumah kelihatan asap mengepul ke udara bagai asap rokok seorang raksasa, tanda penduduk sedang mempersiapkan makan malam. Di atas pematang tampak seorang gadis bersama tujuh orang bibinya. Ketujuh bibi gadis kecil itu masih remaja juga. Peria Pokak nama gadis itu. Tawa dan canda mereka menggambarkan kebahagiaan gadis-gadis remaja. Usia Peria Pokak belum genap enam belas tahun, perawakan badannya tinggi semampai. Penampilan Peria Pokak sangatlah sederhana. Peria Pokak adalah anak seorang janda miskin. Ia tinggal bersama ibunya di pinggir desa itu. Kehidupan mereka sangat sederhana. Ibunya hanya seorang pekerja ladang sewaan. Pada suatu hari Peria Pokak disuruh menemani bibi-bibinya ke sumur Lamben. Sebetulnya bukan itu maksud sebenarnya. Ketujuh bibi Peria Pokak ingin melihat pria pujaan mereka. Pria pujaan itu adalah Putra Mahkota kerajaan. Letak sumur itu tidak jauh dari tempat Putra Mahkota bermain. Mereka sengaja mandi dan bermain-main di sumur Lamben agar dapat dilihat Putra Mahkota. Sumber “Kain Tenun dan Putra Mahkota”. Diakses pada 10 Maret 2023 Pendekar Sejati Bukit Matahari Cerita Rakyat dari Sumatera UtaraOleh Salsa Putri Sadzwana Fajar baru saja tiba. Matahari mulai menampakkan dirinya di kaki cakrawala. Semburat sinarnya yang kuning keemasan mulai menerangi seluruh alam. Bari, bocah berusia sepuluh tahun itu mulai menuruni tangga Omo Hada miliknya. Omo Hada adalah rumah adat khas suku Nias yang terdapat di Desa Bawomataluo. Pagi ini, ia berniat menjumpai Ina yang tengah sibuk menumbuk padi di dalam lisung batu. Ia sudah tak sabar ingin memulai hari-hari barunya di Tano Niha, sebutan suku Nias untuk menyebut kampung halaman mereka, Tanah Nias. Ia yakin hari ini adalah waktu yang tepat baginya untuk menyapa dunia barunya ini. Sejak kedatangannya sebulan yang lalu, ia sama sekali belum pernah ke luar rumah walaupun hanya sekadar bercengkrama dengan keluarga barunya. “Bari! Mau ke mana kau? Siapa yang suruh kau ke luar rumah?” teriak Ina yang langsung meletakkan alu, alat untuk menumbuk padi di dalam suatu wadah yang biasanya disebut lisung batu. Ia bergegas menarik Bari kembali ke dalam Omo Hada mereka. “Tapiii Inaa…” Bari pasrah. Ina tetap membawanya kembali ke dalam Omo Hada. Tak peduli ia terus mengerang kesakitan karena cengkeraman tangan Ina yang begitu kuat terhadap lengannya. Sejurus kemudian, Ina langsung mendudukkan Bari di atas kursi kayu. Dorongan tangan Ina yang begitu kuat membuat tubuh Bari terhempas begitu saja di atas kursi kayu itu. Sumber “Pendekar Sejati Bukit Matahari”. Diakses pada 10 Maret 2023 Penunggu Sungai Kapuas Cerita Rakyat dari Kalimantan TengahOleh Entis Nur Mujiningsih Laki-laki berbadan besar dan tinggi itu tidak lagi muda. Usia lakilaki itu sudah tujuh puluh tahun. Rambutnya sudah mulai memutih, kulitnya sudah tampak kendur. Namun, sisa-sisa ketampanannya masih ada. Ia adalah raja yang sangat disegani oleh rakyatnya Baginda raja terkenal sebagai seorang raja yang arif dan bijaksana di Kerajaan Kahayan Hilir, Pulau Mintin. Rakyat hidup rukun dan makmur karena keadilan baginda raja. Kejayaan kerajaan itu pun terkenal ke daerah di sekitarnya. Pagi ini, rinai hujan membasahi Kerajaan Kahayan Hilir. Langit tampak gelap seakan hujan akan turun semakin deras. Suasana ini menimbulkan kepedihan hati Raja Kahayan Hilir. Matanya menerawang jauh. Dipandangilah titik-titik hujan itu. Baginda raja masih belum dapat melupakan kepergian permaisuri yang sangat dikasihinya.“Sanggupkah aku hidup sendiri tanpa didampingi permaisuri?”Kekhawatiran itulah yang membebani pikirannya. Hujan di luar masih turun dengan deras, angin kencang sesekali terdengar derunya. Dipandangilah titik-titik hujan terasa air mata baginda menetes di pipinya. Kenangan demi kenangan bersama permaisuri belum dapat dilupakan. “Siapa yang akan aku ajak berdiskusi tentang masa depan kerajaan ini? Putra-putraku belum dapat diharapkan untuk meneruskan pemerintahan di kerajaan ini?” katanya dalam hati. Sumber “Penunggu Sungai Kapuas”. Diakses pada 10 Maret 2023 Gong Robek yang Bertuah Cerita Rakyat dari Nusa Tenggara BaratOleh Zaenal Hakim Kisah ini terjadi pada zaman dahulu kala di Desa Ganti, kawasan Sasak NTB. Di sana terdapat seorang laki-laki yang sudah lanjut usia. Istrinya telah lama meninggal dunia akibat sakit. Laki-laki tua ini tidak beristri lagi. Ia takut istri barunya tidak menyayangi kedua anak laki-lakinya. “Kekejaman ibu tiri masih bertebaran di dunia ini!”, demikian yang menjadi alasannya. Kini ia hidup bersama kedua anaknya yang masih kecil. Anak pertama bernama Saleser Gelap dan adiknya bernama Rambulan Purnama. Sumber penghidupan keluarga ini hanyalah mencari ikan. Mereka memasang sebuah bubu di sungai pada waktu malam. Esok paginya bubububu diangkat, maka bergeleparanlah makhluk-makhluk air itu menunggu nasib selanjutnya sebagai makanan manusia. Sungai itu mengalir di sebelah kampung mereka, yaitu Dusun Beleka. Bubunya sering dipasang di suatu tempat yang bernama Lubuk Tibu Nangka. Di tempat itulah mereka anggap paling banyak ikan yang terperangkap bubu. Selama mereka melakukan pekerjaan itu, selalu saja ada ikan yang didapat. Bubunya selalu berisi mujair, ikan mas, lele, belut, dan beberapa jenis ikan lainnya. Ikan-ikan yang terkumpul dijajakan secara bergantian oleh kedua anaknya. Kedua anak itu bergantian berkeliling dari satu kampung ke kampung lainnya. Ikan-ikan diikat dalam satu rangkaian dengan cara menusukkan satu ujung tali kulit pisang ke dalam insang ikan, yang kemudian ditarik keluar melalui mulutnya. Demikian seterusnya, sehingga dalam satu tali bisa terangkai beberapa ikan. Makin panjang tali makin banyak ikan yang terangkai. “Ikan, ikaaan! Ikan ikaaaan! Bu, ikannya, Bu!” ucap Rambulan Purnama menawarkan. “Ibu tidak punya uang, mari tukar sama beras?!”jawab seorang ibu. “Tukar beras? Boleh!” jawab Rambulan Purnama. Penduduk desa itu sudah mengenal betul cara hidup duda tua dengan anak-anaknya yang piatu itu. Dari hasil penjualan atau penukaran ikan itu mereka bisa memperoleh bahan-bahan sembako untuk dimakan tiap hari. Penduduk kampung merasa kasihan kepada mereka yang mencari nafkah dengan cara menanam pukat di lubuk sungai tersebut. Sumber “Gong Robek yang Bertuah”. Diakses pada 10 Maret 2023 Legenda Bukit Perak Cerita Rakyat dari JambiOleh Ricky A. Manik Alkisah di suatu daerah di pedalaman Muarojambi, di salah satu kabupaten di Jambi, hiduplah seorang penghulu desa yang oleh masyarakatnya begitu dihormati. Penduduk akrab memanggilnya dengan sebutan Datuk Sengalo. Di masa kepemimpinan Datuk Sengalo, masyarakat Desa Datuk Sengalo hidup dengan rukun, aman, dan sejahtera. Masyarakat sangat senang dipimpin oleh Datuk Sengalo yang selalu ramah, tidak angkuh, tegas dalam bersikap, dan menunjukkan kepeduliannya kepada masyarakat. Tak jarang pula Datuk Sengalo mengajak warganya untuk selalu tolongmenolong terhadap warga lain yang sedang mengalami kesusahan. Dalam membangun desanya, Datuk Sengalo juga selalu mengajak masyarakat untuk bergotongroyong. Mereka saling tolong mulai dari membuat jalan kampung, membangun jembatan, membangun rumah warga, bahkan memanen hasil kebun. Selama Datuk Sengalo memimpin desa, kehidupan warga desa selalu dalam keadaan aman sentosa. Masyarakatnya hidup penuh kerukunan dan kedamaian. Belum pernah ada warga yang bertikai satu dengan yang lain. Mereka semua hidup sudah seperti saudara dan keluarga sendiri. Hidup mereka tenteram dan makmur. Selain kearifan dan kebijaksanaannya dalam memimpin sebuah desa, Datuk Sengalo juga dikenal dengan kesaktiannya. Oleh masyarakat di sekitarnya, Datuk Sengalo dipercaya sebagai keturunan sanga atau keturunan sembilan dari keluarga manusia setengah dewa pada masa itu. Belum ada yang dapat menandingi kesaktian Datuk Sengalo. Konon kabarnya hanya peluru senapanlah yang dapat menembus kulitnya. Senjata tajam yang lain seperti keris, pedang, dan tombak tak pernah bisa menembus atau bahkan melukai segaris pun kulitnya. Sumber “Legenda Bukit Perak”. Diakses pada 10 Maret 2023 Hikayat Bayan Budiman Cerita Rakyat dari Kepulauan Bangka BelitungOleh Ekawati Dalam cerita ini disebutlah nama Bayan yang budiman. Bayan adalah nama burung yang dapat berbicara, baik hati, dan memiliki sifat-sifat terpuji seperti layaknya manusia. Ia pun pandai bercerita tentang segala hal yang mengandung hikmah bagi siapa pun yang mendengarnya. Isi ceritanya biasanya berupa nasihat yang bermanfaat, khususnya bagi manusia, seperti cerita tentang anak yang harus berbakti kepada kedua orang tuanya, istri yang harus setia kepada suaminya, dan manusia yang harus selalu berdoa memohon pertolongan Allah, Tuhan semesta alam ini. Ia tidak mau berbuat jahat, keji, dan berbicara yang tidak ada manfaatnya. Oleh karena itulah, ia disebut burung bayan yang budiman. Pada suatu hari sekawanan burung bayan asyik berterbangan dengan bebas. Mereka berkejar-kejaran dan hinggap di satu pohon dan berpindah ke pohon yang lain dengan sukacitanya. Namun, kebebasan mereka tiba-tiba terhenti karena ketika mereka hinggap di salah satu pohon yang sangat besar, sayap-sayap mereka lengket di daun dan ranting pohon itu sehingga mereka pun tidak dapat lagi terbang ke sana kemari. Kawanan burung bayan itu berjumlah seratus ekor, salah satunya adalah Raja Bayan. Sebagai pemimpin, Raja Bayan menyampaikan idenya kepada bayan-bayan yang lain, “Kawankawan, ketahuilah bahwa kita terkena jebakan manusia, tetapi kita harus tetap tenang. Hari sudah malam dan besok pagi manusia yang menjebak kita pasti datang. Ketika dia datang, kita semua harus berpura-pura mati. Tahan napas kalian dan jangan sampai ada yang bergerak. Dia pasti akan mengambil kita satu per satu dan menjatuhkan kita ke tanah. Siapa pun di antara kita yang terlebih dahulu dijatuhkan ke tanah harus tetap diam dan jangan langsung terbang sebelum semuanya jatuh ke tanah.” Bayanbayan yang lain pun mengerti dan berjanji akan menaati perintah raja mereka. Di suatu negeri, hiduplah seorang tua bersama keluarganya. Pekerjaan orang tua itu sehari-hari adalah menangkap burung dan ayam di hutan. Ayam dan burung hasil tangkapannya lalu dijual di pasar. Uang hasil menjual ayam dan burung itulah yang dipakai untuk menghidupi keluarganya. Sumber “Hikayat Bayan Budiman”. Diakses pada 10 Maret 2023 Sabeni Jawara dari Tanah Abang Cerita Rakyat dari DKI JakartaOleh Lustantini Septiningsih Sejak kepergian sang suami, perempuan itu harus mengasuh dan membesarkan dua anak laki-lakinya. Setiap hari dia harus bekerja keras untuk menghidupi kedua anaknya. Dua anak laki-laki itu, Rojali dan Somad, tergolong dewasa. Namun, mereka belum berpikiran dewasa. Mereka belum menyadari jika ibunya telah tua. Kehidupan mereka pun miskin. Mereka sehari makan dan sehari tidak. “Rojali dan Somad, anakku,” sapa sang Ibu. “Iya, Nyak,” jawab Rojali dan Somad serentak. “Kemari, Nyak ingin bicara. “Ya, Nyak,” jawab Rojali. “Duduklah kalian!” kata ibunya melanjutkan pembicaraan. Rojali dan Somad pun segera duduk. “Bagaimana, Nyak?” tanya Rojali. “Ya, Nyak. Apa yang ingin Nyak sampaikan kepada kami?” sahut Somad. “Begini, Nyak ingin menyampaikan sesuatu. Namun, Nyak khawatir jika yang Nyak sampaikan menjadi beban kalian.” “Sampaikan saja, Nyak!” pinta Rojali. Beberapa saat kemudian dengan perlahan ibunya mengungkapkan isi hatinya “Semakin hari usia Nyak semakin tua. Tidak kuat lagi Nyak mencari makan buat sehari-hari. Nyak mengharapkan kalian dapat menggantikan Nyak mencari nafkah.” Sumber “Sabeni Jawara dari Tanah Abang”. Diakses pada 10 Maret 2023 Gatotkaca Satria dari Pringgadani Cerita Rakyat dari Jawa TengahOleh Lustantini Septiningsih Dewi Arimbi, istri Raden Werkudara, sedang hamil tua. Para prajurit Pringgadani siang malam selalu berdoa. Mereka berharap sang Ratu melahirkan dengan selamat. Ketika suasana sangat hening, Dewi Arimbi melahirkan seorang bayi laki-laki. Keluarga kerajaan bergembira, terutama Raden Werkudara karena keinginannya untuk mempunyai seorang anak laki-laki terkabul. Bende, gong kerajaan dipukul tiga kali sebagai tanda itu, para prajurit Kerajaan Pringgadani berkumpul. Saat akan dilakukan pemotongan tali pusar, tali pusar bayi itu tidak mempan dipotong dengan pisau. Keanehan itu membuat semua orang cemas. Prabu Sri Batara Kresna meminta Prabu Puntodewo memotongnya dengan pusaka andalan Pandawa. Prabu Puntadewa mendekati bayi itu dengan membawa pusaka untuk memotong tali pusarnya. Namun, pusaka itu juga tidak sanggup untuk memotongnya Prabu Sri Batara Kresna merasa penasaran. Ia menyuruh Raden Harjuna memotong tali pusar bayi itu dengan pusaka andalannya. Namun, pusakanya pun tidak mampu untuk memotong tali pusar bayi itu. Sumber “Gatotkaca Satria dari Pringgadani”. Diakses pada 10 Maret 2023 Kisah Persahabatan antara Pulau Haruku dan Pulau Seram Cerita Rakyat dari MalukuOleh Nita Handayani Hasan Desa Haruku adalah desa yang tenteram dan damai. Masyarakatnya hidup berdampingan dengan damai. Jika salah satu orang tertimpa musibah, anggota masyarakat yang lain langsung menolongnya. Desa Haruku juga memiliki kekayaan alam yang melimpah ruah. Hasil hutannya sangat kaya, begitu pula hasil lautnya. Mata pencaharian masyarakat Haruku ialah berkebun dan bertani. Biasanya mereka membuka lahan perkebunan di dalam hutan. Tanaman-tanaman yang mereka tanam berupa umbi-umbian, sayur-mayur, dan buah-buahan. Hasil dari berkebun mereka bawa ke Kota Ambon untuk dijual di sana. Hari itu Dominggus akan pergi ke kebun untuk memanen buah durian. Beberapa hari sebelumnya, ayah dan pamannya sudah pergi untuk memanen durian. Mereka sempat mengajaknya, tetapi melihat istrinya yang sedang sakit, Dominggus mengurungkan niatnya. Pada pagi hari itu, setelah melihat keadaan istrinya mulai pulih, dia memberanikan diri untuk meminta izin kepada istrinya. “Istriku, aku mau pergi memanen durian di kebun. Mungkin setelah tiga hari aku baru pulang. Jangan lupa minum obatmu.” “Baiklah, berhati-hatilah semoga perjalananmu lancar. Aku akan mempersiapkan bekalmu selama di hutan. Tunggulah sebentar, akan kuuntai ijuk menjadi cincin agar dapat kau hadiahkan kepada Buaya Learissa Kayeli,” kata Marice kepada suaminya. Ada rasa khawatir dan sedih dalam hatinya. Namun, dia harus melepaskan suaminya karena pada musim durian masyarakat akan mendapat banyak keuntungan dari penjualan durian. Uang yang diperoleh dapat digunakan untuk biaya hidup sehari-hari. Sumber “Kisah Persahabatan antara Pulau Haruku dan Pulau Seram”. Diakses pada 10 Maret 2023 Jaka dan Naga Sakti Cerita Rakyat dari Jawa TimurOleh Dina Alfiyanti Fasa “Bagaimana nasib pemuda itu? Apakah ia berhasil? Sudah hampir sehari ia pergi. Semoga ia dapat mengalahkannya. Namun, bagaimana bila ia tidak berhasil? Apa yang harus kulakukan? Bagaimana nasib putriku?” batin Prabu Arya Seta cemas. Prabu Arya Seta tampak gelisah. Sudah sejak pagi Prabu Arya Seta hanya berjalan mondar-mandir di dalam kamarnya. Ia tidak ingin diganggu. Ia telah memerintahkan semua orang di kerajaan untuk tidak mengganggunya seharian ini. Tidak ada yang mempertanyakan perintah Prabu Arya Seta karena mereka memahami perasaannya. Prabu Arya Seta sedang memikirkan nasib seorang pemuda yang sedang bertarung di gua kaki Gunung Arga Dumadi. Apa pun hasil pertarungan itu akan sangat memengaruhi keadaan putrinya, Putri Ayu Rara Kemuning, dan dirinya. Ia sangat berharap pemuda itu dapat memenangkan pertarungan agar keadaan di kerajaan kembali normal. Sudah berbulan-bulan ini kerajaan tidak dihiasi keceriaan Putri Kemuning. Ia tidak dapat keluar kamar karena kondisinya yang tidak memungkinkan untuk keluar kamar. Ia terkena penyakit yang tidak biasa dan membuatnya malu untuk bertemu dengan orang lain. Hanya seorang pelayan yang dapat bertemu dengannya karena harus melayaninya makan dan mandi. Sumber “Jaka dan Naga Sakti”. Diakses pada 10 Maret 2023 Sari Gading Cerita Rakyat dari Jawa TengahOleh Harlina Indijati Di suatu perkampungan hidup kakak beradik yang bernama Cendana dan Cendini. Mereka sudah lama hidup sebagai yatim piatu. Cendana sangat menyayangi adiknya, Cendini. Walaupun masih anakanak, Cendana sudah dapat menanam padi untuk keperluan hidupnya. Selain menanam padi, dia juga menanam buah-buahan dan sayursayuran. Pisang dan pepaya ditanam di sela-sela pematang sawah. Oleh karena itu, semua kebutuhan makanannya sudah tercukupi dari sawah dan kebunnya sendiri. Tubuh Cendana sangat kekar dan kuat sehingga ia bisa menebang pohon. Ia juga rajin mengumpulkan kayu bakar untuk piranti memasak. Cendini juga telah tumbuh menjadi anak perempuan yang cantik. Rambutnya panjang, wajahnya bulat panjang, dan matanya bersinar. Cendini sangat rajin membantu kakaknya. Cendini dan Cendana masih tergolong anak-anak, tetapi pemikirannya sudah seperti orang dewasa karena keadaan yang dialaminya. Cendini dan Cendana selalu bangun pagi sebelum fajar menyingsing. Kadang-kadang sebelum berangkat ke sawah, Cendana dan Cendini memberi makan ayam yang dipeliharanya terlebih dahulu. Kedisiplinan Cendana dan Cendini itu yang menyebabkan ayam miliknya selalu bertelur setiap hari. Cendini membantu Cendana membersihkan rumput-rumput yang tumbuh di sela-sela padinya. Cendini juga memetik daun singkong yang masih muda untuk dimasak. Kerajinan dan kedisiplinan Cendana dan Cendini menyebabkan padinya tumbuh subur. Selain menanam padi, Cendana juga menanam ubi dan jagung. Sumber “Sari Gading”. Diakses pada 10 Maret 2023 Legenda Condet Cerita Rakyat dari DKI JakartaOleh Azhar Sungai Ciliwung mengalir tenang. Airnya tampak bening. Segala jenis ikan yang hidup di sungai itu dapat dilihat dengan jelas. Ada ikan emas, gurami, lele, betok, dan mujair. Di tepi sungai ada pohon-pohon besar. Suasana di tempat itu sangat teduh. Angin yang berembus membawa hawa sejuk. Anak-anak senang mandi di sungai itu. Mereka sering melihat orang mengayuh getek dengan sebilah bambu di sungai itu. Ketika itu, getek menjadi salah satu alat transportasi di sungai itu. Daerah Condet dikelilingi berbagai jenis pohon yang tumbuh membentuk hutan kecil yang memberi hawa segar. Ada juga rawa yang ditumbuhi eceng gondok. Bila malam tiba, terdengar suara jangkrik dan kodok di tepi rawa. Meskipun demikian, suasana damai menyelimuti daerah itu. Malam itu angin berembus dingin. Bulan tampak bersinar terang. Pangeran Geger yang lebih sering dipanggil Pangeran Condet, tampak berdiri di tepi jendela yang terbuka. Ia tersenyum kecil. Ia sangat mengagumi kekuasaan Sang Pencipta Semesta. Ia melihat bintang yang berkelap-kelip di langit raya, langit terbentang tanpa tiang, bulan bersinar tanpa gantungan. “Allahu akbar,” gumamnya dengan mata berkaca-kaca. Saat itu, Pangeran Condet buru-buru menutup daun jendela di ruang depan. Udara malam itu dirasakannya semakin dingin. Didengarnya suara kodok dan jangkrik bersahut-sahutan. Burung hantu mengumandangkan suaranya di dahan kecapi. Ia mendengar juga daun rambutan bergesekan diterpa angin yang berembus kencang. Sumber “Legenda Condet”. Diakses pada 10 Maret 2023Baca juga: Legenda La Moelu dari Sulawesi Tenggara Beserta Ulasannya, Kisah Seorang Anak Yatim dan Ikan Ajaib. Cerita Rakyat Sidang Belawan dari Lampung yang Mengandung Pesan Inspiratif. Begitulah kira-kira uraian lengkap tentang kisah Sidang Belawan beserta unsur-unsur intrinsik dan fakta menariknya yang dapat kami rangkum.Sulawesi Tenggara - Indonesia Rating 25 pemilih Gunung Mekongga memiliki ketinggian m di atas permukaan laut, terletak di Kecamatan Ranteangin, Kabupaten Kolaka, Provinsi Sulawesi Tenggara, Indonesia. Menurut bahasa setempat, kata gunung mekongga berarti gunung tempat matinya seekor elang atau garuda raksasa yang ditaklukkan oleh seorang pemuda bernama Tasahea dari negeri Loeya. Peristiwa apakah gerangan yang terjadi di daerah itu, sehingga Tasahea menaklukkan burung garuda itu? Lalu, bagaimana cara Tasahea menaklukkannya? Kisahnya dapat Anda ikuti dalam cerita Asal Mula Nama Gunung Mekongga berikut ini. * * * Alkisah, pada suatu waktu negeri Sorume kini bernama negeri Kolaka dilanda sebuah malapetaka yang sangat dahsyat. Seekor burung garuda raksasa tiba-tiba mengacaukan negeri itu. Setiap hari burung itu menyambar, membawa terbang, dan memangsa binatang ternak milik penduduk, baik itu kerbau, sapi, atau pun kambing. Jika keadaan itu berlangsung terus-menerus, maka lama-kelamaan binatang ternak penduduk akan habis. Penduduk negeri Kolaka pun diselimuti perasaan khawatir dan cemas. Jika suatu saat binatang ternak sudah habis, giliran mereka yang akan menjadi santapan burung garuda itu. Itulah sebabnya mereka takut pergi ke luar rumah mencari nafkah. Terutama penduduk yang sering melewati sebuah padang luas yang bernama Padang Bende. Padang ini merupakan pusat lalu-lintas penduduk menuju ke kebun masing-masing. Sejak kehadiran burung garuda itu, padang ini menjadi sangat sepi, karena tidak seorang pun penduduk yang berani melewatinya. Pada suatu hari, terdengarlah sebuah kabar bahwa di negeri Solumba kini bernama Belandete ada seorang cerdik pandai dan sakti yang bernama Larumbalangi. Ia memiliki sebilah keris dan selembar sarung pusaka yang dapat digunakan terbang. Maka diutuslah beberapa orang penduduk untuk menemui orang sakti itu di negeri Solumba. Agar tidak disambar burung garuda, mereka menyusuri hutan lebat dan menyelinap di balik pepohonan besar. Sesampainya di negeri Solumba, utusan itu pun menceritakan peristiwa yang sedang menimpa negeri mereka kepada Larumbalangi. ”Kalian jangan khawatir dengan keadaan ini. Tanpa aku terlibat langsung pun, kalian dapat mengatasi keganasan burung garuda itu,” ujar Larumbalangi sambil tersenyum simpul. ”Bagaimana caranya? Jangankan melawan burung garuda itu, keluar dari rumah saja kami tidak berani,” ucap salah seorang utusan. ”Begini saudara-saudara. Kumpulkan buluh bambu yang sudah tua, lalu buatlah bambu runcing sebanyak-banyaknya. Setelah itu carilah seorang laki-laki pemberani dan perkasa untuk dijadikan umpan burung garuda itu di tengah padang. Kemudian, pagari orang itu dengan bambu runcing dan ranjau!” perintah Larumbalangi. Setelah mendengar penjelasan itu, para utusan kembali ke negerinya untuk menyampaikan pesan Larumbalangi. Penduduk negeri itu pun segera mengundang para kesatria, baik yang ada di negeri sendiri maupun dari negeri lain, untuk mengikuti sayembara menaklukkan burung garuda. Keesokan harinya, ratusan kesatria datang dari berbagai negeri untuk memenuhi undangan tersebut. Mereka berkumpul di halaman rumah sesepuh Negeri Kolaka. ”Wahai saudara-saudara! Barangsiapa yang terpilih menjadi umpan dan berhasil menaklukkan burung garuda itu, jika ia seorang budak, maka dia akan diangkat menjadi bangsawan, dan jika ia seorang bangsawan, maka dia akan diangkat menjadi pemimpin negeri ini,” sesepuh negeri itu memberi sambutan. Setelah itu, sayembara pun dilaksanakan dengan penuh ketegangan. Masing-masing peserta memperlihatkan kesaktian dan kekuatannya. Setelah melalui penyaringan yang ketat, akhirnya sayembara itu dimenangkan oleh seorang budak laki-laki bernama Tasahea dari negeri Loeya. Pada waktu yang telah ditentukan, Tasahea dibawa ke Padang Bende untuk dijadikan umpan burung garuda. Ketika berada di tengah-tengah padang tersebut, budak itu dipagari puluhan bambu runcing. Ia kemudian dibekali sebatang bambu runcing yang sudah dibubuhi racun. Setelah semuanya siap, para warga segera bersembunyi di balik rimbunnya pepohonan hutan di sekitar padang tersebut. Tinggallah Tasahea seorang diri di tengah lapangan menunggu kedatangan burung garuda itu. Menjelang tengah hari, cuaca yang semula cerah tiba-tiba berubah menjadi mendung. Itu pertanda bahwa burung garuda sedang mengintai mangsanya. Alangkah senang hati burung garuda itu saat melihat sosok manusia sedang berdiri di tengah Padang Bende. Oleh karena sudah sangat kelaparan, ia pun segera terbang merendah menyambar Tasahea. Namun, malang nasib burung garuda itu. Belum sempat cakarnya mencengkeram Tasahea, tubuh dan sayapnya sudah tertusuk bambu runcing terlebih dahulu. ”Koeeek... Koeeek... Koeeek... !!!” pekik burung garuda itu kesakitan. Tasahea pun tidak menyia-nyiakan kesempatan. Dengan cekatan, ia melemparkan bambu runcingnya ke arah dada burung garuda itu. Dengan suara keras, burung garuda itu kembali menjerit kesakitan sambil mengepak-epakkan sayapnya. Setelah sayapnya terlepas dari tusukan bambu runcing, burung itu terbang tinggi menuju Kampung Pomalaa dengan melewati Kampung Ladongi, Torobulu, Amesiu, Malili, dan Palau Maniang. Akan tetapi, sebelum sampai Pomalaa, ia terjatuh di puncak gunung yang tinggi, karena kehabisan tenaga. Akhirnya ia pun mati di tempat itu. Tasahea menombak burung garuda Sementara itu, penduduk negeri Kolaka menyambut gembira Tasahea yang telah berhasil menaklukkan burung garuda itu. Mereka pun mengadakan pesta selama tujuh hari tujuh malam. Namun, ketika memasuki hari ketujuh yang merupakan puncak dari pesta tersebut, tiba-tiba mereka mencium bau bangkai yang sangat menyengat. Pada saat itu, tersebarlah wabah penyakit mematikan. Banyak penduduk meninggal dunia terserang sakit perut dan muntah-muntah. Sungai, pepohonan, dan tanaman penduduk dipenuhi ulat. Tak satu pun tanaman penduduk yang dapat dipetik hasilnya, karena habis dimakan ulat. Akibatnya, banyak penduduk yang mati kelaparan. Penduduk yang masih tersisa kembali panik dan cemas melihat kondisi yang mengerikan itu. Untuk mengatasi permasalahan tersebut, mereka pun segera mengutus beberapa orang ke negeri Solumba untuk menemui Larumbalangi. ”Negeri kami dilanda musibah lagi,” lapor salah seorang utusan. ”Musibah apalagi yang menimpa kalian?” tanya Larumbalangi kepada utusan yang baru datang dengan tergopoh-gopoh. ”Iya, Tuan! Negeri kami kembali dilanda bencana yang sangat mengerikan,” jawab seorang utusan lainnya, seraya menceritakan semua perihal yang terjadi di negeri mereka. ”Baiklah, kalau begitu keadaannya. Kembalilah ke negeri kalian. Tidak lama lagi musibah ini akan segera berakhir,” ujar Larumbalangi. Setelah para utusan tersebut pergi, Larumbalangi segera memejamkan mata dan memusatkan konsentrasinya. Mulutnya komat-kamit membaca doa sambil menengadahkan kedua tangannya ke langit. ”Ya Tuhan! Selamatkanlah penduduk negeri Kolaka dari bencana ini. Turunkanlah hujan deras, agar bangkai burung garuda dan ulat-ulat itu hanyut terbawa arus banjir!” demikian doa Larumbalangi. Beberapa saat kemudian, Tuhan pun mengabulkan permohonan Larumbalangi. Cuaca di negeri Kolaka yang semula cerah, tiba-tiba menjadi gelap gulita. Awan tiba-tiba menggumpal menjadi hitam. Tidak berapa lama, terdengarlah suara guntur bersahut-sahutan diiringi suara petir menyambar sambung-menyambung. Hujan deras pun turun tanpa henti selama tujuh hari tujuh malam. Seluruh sungai yang ada di negeri Kolaka dilanda banjir besar. Bangkai dan tulang belulang burung garuda itu pun terbawa arus air sungai. Demikian pula ulat-ulat yang melekat di dedaunan dan pepohonan, semuanya hanyut ke laut. Itulah sebabnya laut di daerah Kolaka terdapat banyak ikan dan batu karangnya. Gunung tempat jatuh dan terbunuhnya burung garuda itu dinamakan Gunung Mekongga, yang artinya gunung tempat matinya elang besar atau garuda. Sementara sungai besar tempat hanyutnya bangkai burung garuda dinamakan Sungai Lamekongga, yaitu sungai tempat hanyutnya bangkai burung garuda. Budak laki-laki dari Negeri Loeya yang berhasil menaklukkan burung garuda tersebut diangkat derajatnya menjadi seorang bangsawan. Sedangkan Larumbalangi yang berasal dari negeri Solumba diangkat menjadi pemimpin Negeri Kolaka, yaitu negeri yang memiliki tujuh bagian wilayah pemerintahan yang dikenal dengan sebutan ”Tonomotuo”. * * * Demikian ceita Asal Mula Nama Gunung Mekongga dari daerah Kolaka, Sulawesi Tenggara, Indonesia. Cerita di atas termasuk kategori mitos yang mengandung pesan-pesan moral yang dapat dijadikan pedoman dalam kehidupan sehari-hari. Salah satunya adalah keutamaan sifat tidak mudah putus asa. Orang yang tidak mudah berputus asa adalah termasuk orang yang senantiasa berpikiran jauh ke depan dan pantang menyerah jika ditimpa musibah. Sifat ini ditunjukkan oleh perilaku masyarakat Kolaka yang ditimpa musibah. Mereka tidak pernah berputus asa untuk mencari bantuan agar negeri mereka terbebas dari bencana. Dikatakan dalam tunjuk ajar Melayu yang berpikiran jauh,ditimpa musibah pantang mengeluh yang berpikiran jauh,tahu mencari tempat berteduh Samsuni /sas/97/09-08 Sumber Isi cerita diadaptasi dari Sidu, La Ode. 1999. Cerita Rakyat dari Sulawesi Tenggara. Jakarta - 29k, diakses tanggal 3 September Tenas. 2006. Tunjuk Ajar Melayu. Yogyakarta Balai Kajian dan Pengembangan Budaya Melayu bekerja sama dengan AdiCita Karya Nusa. Kredit foto Dibaca kali Hak Cipta Telah Didaftarkan pada Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonseia Copyrights by Dilarang keras mendownload, menggunakan, dan menyebarluaskan cerita-cerita di website ini tanpa seizin penulis dan Silahkan memberikan rating anda terhadap cerita ini. Komentar untuk "" Berikan Komentar Anda"Banyak kandungan nilai, makna filosofi, cerita, dan peristiwa sejarah yang bisa ditelusuri, diteliti, dan dimaknai dari perjalanan Oputa yi Koo. Keberaniannya melawan segala bentuk penindasan serta penghianatan, memicu optimisme dan semangat patriotisme para pengikutnya," kata Gubernur Sultra Ali Mazi, SH saat memberi testimoni menyambut hari Tidak banyak cerita rakyat dari Maluku yang Kakak miliki, hanya beberapa kisah dari sekian banyak koleksi cerita rakyat Nusantara di blog ini berasal dari Maluku. Salah satu dongeng yang berasal dari Maluku adalah cerita Air Mata Menjadi Telaga yang merupakan asal muasal Telaga Biru di Dusun Lisawa. Karena cerita rakyat ini sangat pendek Kakak tambahkan satu cerita rakyat dari Sulawesi Tenggara yaitu kisah balas dendam penjaga gunung, mudah-mudahan kalian suka dengan kedua dongeng anak ini. Selamat membaca. Cerita Rakyat dari Maluku Legenda Air Mata Menjadi Telaga Dahulu kala, ada sepasang muda-mudi bernama Majojaru dan Magohiduru yang sedang menjalin kasih. Suatu hari, Magohiduuru berpamitan kepada orangtua dan kekasihnya untuk pergi merantau. Sebelum pergi, Majojaru dan Magohiduuru mengikat janji untuk sehidup semati selamanya. Sekian bulan berlalu, terdengar kabar bahwa kapal yang ditumpangi Magohiduuru tenggelam di laut luas dan pemuda itu meninggal dunia. Kabar ini membuat hati Majojaru hancur. Dengan perasaan yang sangat sedih, gadis itu pergi dari rumah untuk menangkan diri. Lalu, ia berhenti di bawah sebuah pohon beringin dan duduk menangis di satu. Air matanya mengalir deras, sehingga menggenang dan menenggelamkan batu-batuan tajam yang ada di sekitar pohon beringin. Gadis itu pun tenggelam oleh air matanya sendiri. Akibatnya, terjadilah sebuah telaga. Airnya sangat bening dan indah. Penduduk menamakan telaga tersebut Telaga Biru. Pemuda dan pernudi di sana sering kali datang ke Telaga Biru untuk saling mengikat janji. Telaga Biru terletak di Dusun Lisawa, Maluku. Pesan moral dari Cerita Rakyat dari Maluku Asal Usul Telaga Biru adalah dalam menghadapi segala masalah, kita harus tegar dan tidak boleh terlalu larut dalam kesedihan. Dongeng Anak dari Sulawesi Tenggara Asal Usul Gunung Saba Mpolulu Di Sulawesi Tenggara terdapat dua buah gunung yang letaknya saling berjauhan. Nama gunung tersebut adalah Gunung Kamonsope dan Gunung Mata Air. Penunggu Gunung Kamonsope adalah seorang perempuan yang cantik. Sementara itu, penunggu Gunung Mata Air adalah seorang laki-laki bertubuh gendut. cerita rakyat dari maluku dan Dongeng Anak Sulawesi Tenggara Suatu saat, kemarau melanda daerah ini. Di mana-mana terjadi kekeringan. Namun, wilayah Gunung Kamonsope memiliki persediaan air yang sangat banyak, sehingga tidak mengalami kekeringan. Pengairan sawah tetap terjaga baik dan kebutuhan masyarakat juga terpenuhi. Berbeda dengan Gunung Mata Air. Meskipun namanya Mata Air, wilayah ini mengalami kekeringan yang sangat parah. Untuk memenuhi kebutuhan mandi penduduk saja sulit. Hal ini membuat penunggu Gunung Mata Air gundah. Lalu, ia berniat untuk meminta pertolongan kepada penunggu Gunung Kamonsope. Ia mendatangi penunggu Gunung Kamonsope. “Bisakah aku meminta airmu untuk mengairi wilayahku?” kata penunggu Gunung Mata Air dengan santun. “Maaf, aku tidak bisa menolongmu. Aku juga memeriukan air untuk wilayahku;” kata penunggu Gunung Kamonsope. Penunggu Gunung Mata Air merasa kecewa. Berkali-kali, ia mengulangi permohonannya, tetapi tetap saja tidak dikabulkan oleh penunggu Gunung Makonsope. Laki-laki itu pulang dengan perasaan marah. Ia merasa dilecehkan oleh perempuan penunggu Gunung Kamonsope. Laki-laki itu pun berniat menyerang Gunung Kamonsope menggunakan meriam. Tembakan pertama meleset, begitu juga tembakan kedua dan tembakan ketiga. Sama sekali tidak mengenai Gunung Kamonsope. Menyadari wilayahnya diserang, penunggu Gunung Kamonsope berniat membalasnya menggunakan meriam yang lebih besar. Sekali tembak saja meriam tersebut sudah mengenai puncak Gunung Mata Air sehingga pecah menjadi berbentuk kapak. Semenjak saat itu, Gunung Mata Air diganti namanya menjadi Saba Mpolulu. Saba artinya terkoyak, hilang sebagian. Sementara itu, Mpolulu artinya kapak. Pesan moral dari Dongeng Anak dari Sulawesi Tenggara Asal Usul Gunung Saba Mpolulu adalah selesaikan masalahmu dengan musyawarah, menyelesaikan masalah dnegan kekerasan bisa berakibat kehancuran. Ikuti kisah cerita rakyat terbaik lainnya yang kami miliki pada artikel kami berikut ini Kumpulan Dongeng Cerita Rakyat dari SulawesiNini dan Putri Ikan Cerita Rakyat dari Sulawesi Tenggara Cerita rakyat dari Sulawesi Tenggara Kendari – adalah cerita tentang seekor ikan kecil yang tinggal di lautan. Pada suatu ketika dia tersesCerita rakyat La Sirimbone dari Sulawesi Tenggara cocok untuk dijadikan sebagai pengantar tidur anak-anak. Namun, apakah kamu familier dengan ceritanya? Kalau belum, kamu bisa langsung menyimat informasi lengkapnya dalam artikel ini. Yuk, langsung cek saja!Indonesia kaya akan dongeng untuk anak-anak yang diturunkan dari generasi ke generasi. Salah satunya adalah cerita rakyat La Sirimbone dari Sulawesi Tenggara. Meskipun belum banyak orang yang tahu, tapi legenda anak laki-laki dari Pulau Sulawesi itu sebenarnya mengandung pesan moral yang bagus untuk artikel ini, terdapat uraian lengkap mengenai kisah La Sirimbone beserta unsur-unsur intrinsiknya. Selain itu ada juga pembahasan seputar fakta menarik yang barangkali bisa menjadi wawasan Penasaran ingin mengetahui secara lengkap cerita rakyat La Sirimbone dari Sulawesi Tenggara? Tanpa perlu menunggu lama, kamu bisa langsung menyimak ulasannya di bawah ini!Cerita Rakyat La Sirimbone dari Sulawesi Tenggara Pada zaman dahulu kala, hiduplah seorang wanita bernama Wa Roe dengan anak laki-laki tunggalnya bernama La Sirimbone. Suami Wa Roe sendiri telah meninggal dunia ketika putranya masih kecil. Ibu dan anak ini tinggal di sebuah gubuk di pinggir desa. Wa Roe merupakan wanita mandiri yang berusaha sebaik mungkin untuk bisa memenuhi kebutuhan sehari-hari bersama anak laki-lakinya. Meskipun tidak dibesarkan dengan peran dari seorang ayah, La Sirimbone tetap tumbuh menjadi anak laki-laki yang baik hati, suka menolong, dan patuh kepada orangtua. Pada suatu hari, desa di mana Wa Roe dan La Sirimbone tinggal kedatangan pedagang kain laki-laki bernama La Petamba. Laki-laki itu berjualan dari satu rumah ke rumah lainnya. Saat tiba di rumah gubuk Wa Roe, ia sangat terkejut karena mendapati perempuan yang cantik jelita. “Aku tidak menyangka bisa berjumpa dengan wanita cantik jelita di rumah gubuk ini,” gumam La Petamba dalam hati. Laki-laki itu pun dengan gugup menawarkan kain-kain dagangannya kepada janda beranak satu tersebut. “Silakan dibeli kain-kain dagangan saya. Kain-kain ini kualitasnya bagus dengan harga yang tidak terlalu mahal,” jelas La Petamba. “Maaf, saya tidak bisa membeli kain-kain Tuan. Saya tidak memiliki uang,” jawab Wa Roe. La Petamba yang mendengar penjelasan Wa Roe kemudian mohon diri untuk berjualan ke rumah-rumah penduduk lainnya. Selama mengunjungi dari satu rumah ke rumah lainnya, pedagang kain itu tidak bisa berhenti membayangkan kecantikan wajah Wa Roe. Ketika hari mulai gelap, La Petamba segera mengemasi dagangan kainnya dan kembali pulang ke rumahnya di negeri seberang. Di rumahnya, ia masih tetap memikirkan tentang Wa Roe. Laki-laki itu pun membulatkan tekad untuk mempersunting Wa Roe. Pernikahan La Petamba dan Wa Roe Keesokan harinya, La Petamba kemudian kembali ke desa tempat Wa Roe tinggal. Tidak untuk berjualan, laki-laki berniat menghadap ke para sesepuh desa agar bisa mendapat restu untuk menikahi Wa Roe. Selain itu, ia juga meminta pertolongan para sesepuh untuk menemaninya ke rumah Wa Roe. Wa Roe yang sedang sibuk membersihkan rumah terkejut dengan kedatangan rombongan para sesepuh desa dengan pedagang kain yang mengunjungi rumahnya kemarin. Ia lalu mengesampingkan urusannya untuk menerima para tamu tersebut. “Sebelumnya, kami minta maaf Wa Roe karena sudah bertamu dengan tiba-tiba tanpa memberitahumu dahulu. Kedatangan kami di sini adalah hendak menyampaikan niat La Petamba yang ingin menikahimu,” ujar salah satu sesepuh desa. Wa Roe yang mendengar penjelasan sesepuh desa menjadi terdiam sejenak. Ia sebenarnya tidak menyangka kalau La Petamba ingin menikahinya karena mereka baru bertemu satu kali dan belum mengenal satu sama lain. Sebenarnya, Wa Roe tidak terlalu mempermasalahkan soal pernikahan karena ia lebih memikirkan nasib putra semata wayangnya, La Sirimbone. Setelah terdiam cukup lama, wanita itu akhirnya mengambil keputusan untuk menjawab pinangan La Petamba. “Baiklah. Aku bersedia menjadi istri La Petamba, tapi dengan syarat ia mau menerima dan mencintai anakku, La Sirimbone, sebagaimana anak kandungnya sendiri,” jawab Wa Roe. Setelah mendengar jawaban Wa Roe, perwakilan dari sesepuh desa pun bertanya kepada La Petamba. Mereka ingin tahu apakah laki-laki itu bersedia menerima persyaratan dari Wa Roe. “Bagaimana, La Petamba? Apakah kamu bersedia memenuhi persyaratan dari Wa Roe?” tanya sang sesepuh. “Aku bukanlah laki-laki yang membenci anak. Aku menyanggupi persyaratan Wa Roe dan berjanji akan menyayangi La Sirimbone seperti anak kandungku sendiri,” ucap La Petamba dengan penuh keyakinan. Mendengar janji dari La Petamba, Wa Roe tersentuh hatinya. Wanita itu lalu menerima pinangan La Petamba dan merencanakan kapan pernikahan itu akan dilaksanakan. Acara pernikahan yang disaksikan oleh para sesepuh dan warga desa itu berjalan dengan lancar. Baca juga Kisah Rapunzel Si Putri Rambut Panjang Versi Grimm Bersaudara dan Ulasan Lengkapnya Awal Mala Petaka Hidup La Sirimbone Kehidupan rumah tangga La Petamba dan Wa Roe berjalan dengan lancar dan dipenuhi dengan kebahagiaan. Setelah seharian berkeliling ke kampung-kampung untuk menjual kain dagangannya, laki-laki itu seringkali membawa oleh-oleh untuk La Sirimbone. Sayangnya, perlakuan baik yang ditunjukkan oleh La Petamba kepada La Sirimbone ternyata hanya berlangsung selama satu bulan. Entah mengapa, tiba-tiba saja laki-laki itu berubah sikap dan membenci kehadiran anak tirinya. Dikisahkan dalam cerita rakyat La Sirimbone dari Sulawesi Tenggara bahwa La Petamba hampir setiap hari memarahi dan memukulnya padahal anak laki-laki itu tidak melakukan kesalahan apa pun. Bahkan, laki-laki itu sampai dengan teganya menyuruh Wa Roe untuk membuang La Sirimbone ke tengah hutan. “Bang, kenapa kamu tega sekali dengan anakku. Bukankah kamu sudah berjanji untuk menyayangi La Sirimbone seperti anak kandungmu sendiri?!” teriak Wa Roe tidak terima ketika melihat putranya dipukuli terus-terusan. “Persetan dengan janji yang aku ucapkan di masa lalu. Aku hanya menyanggupi permintaanmu supaya bisa menikahimu,” balas La Petamba dengan nada marah. Melihat sikap suaminya yang tidak bisa dikontrol, Wa Roe segera menyelamatkan La Sirimbone dan mempersiapkan perbekalan untuk anaknya. Sembari menitikkan air mata, wanita ini sudah bertekad akan mengungsikan putranya ke tengah hutan supaya bisa selamat dari amukan La Petamba. Keesokan harinya, Wa Roe dan La Sirimbone pergi ke hutan. Ibu dan anak itu menempuh perjalanan yang jauh karena melalui lembah dan gunung. Setelah tiba di hutan yang lebat dan sepi, Wa Roe pun menyampaikan pesan kepada putra tercintanya. “Maafkan ibu, Anakku. Ibu terpaksa meninggalkanmu di hutan ini supaya kamu tidak lagi menjadi sasaran kemarahan ayah tirimu,” ucap Wa Roe sembari memberikan perbekalannya kepada La Sirimbone. “Tapi, bu. Bagaimana dengan nasibku? Aku tidak mau berpisah dengan ibu,” balas La Sirimbone sambil menangis. “Kuatkan dirimu. Pergilah sendiri melewati lembah dan gunung! Jagalah dirimu baik-baik karena ibu akan selalu mendoakan keselamatanmu,” ujar Wa Roe sambil berpamitan kepada anaknya. Perjumpaan La Sirimbone dengan Raksasa Perempuan La Sirimbone hanya melihat kepergian ibunya dengan tatapan nanar. Ia pun kemudian segera mengusap air matanya dan kembali menyusuri hutan. Sembari membawa bekal pemberian ibunya, La Sirimbone mengamati jalanan hutan yang ia lewati. Setelah berjalan cukup lama, La Sirimbone menemukan tapak kaki manusia yang sangat besar. Anak laki-laki itu lalu mengikuti tapak kaki raksasa tersebut. Saat sudah berjalan cukup jauh, ia tiba-tiba dikejutkan oleh suara gemuruh. La Sirimbone yang memiliki rasa penasaran tinggi pun mendekati sumber suara gemuruh itu. Ketika sudah sampai, ia melihat seorang raksasa perempuan yang sedang sibuk menumbuk. Tubuh anak laki-laki itu tiba-tiba bergetar ketakutan dan tanpa sadar mendekap kaki sang raksasa. “Hei, anak manusia! Kamu siapa dan kenapa bisa berada di tengah hutan ini?” tanya raksasa perempuan itu. Dengan tubuh yang masih gemetar ketakutan, La Sirimbone pun menjelaskan kepada raksasa perempuan itu siapa dirinya dan bagaimana ia bisa sampai di tengah hutan. Tak disangka, ternyata raksasa perempuan itu merasa iba dengan apa yang dialami La Sirimbone. “Kasihan sekali, kamu. Baiklah. Kamu boleh tinggal di rumahku untuk sementara waktu. Tapi, kamu harus masuk ke dalam kurungan,” jelas sang raksasa. “Huh? Kenapa aku harus dimasukkan ke dalam kurungan?” tanya La Sirimbone. “Aku memasukkanmu ke dalam kurungan itu untuk kebaikanmu sendiri, La Sirimbone. Di hutan ini ada raksasa laki-laki yang berkeliaran mencari mangsa. Aku hanya berusaha melindungimu,” terang raksasa perempuan itu. La Sirimbone menuruti perintah sang raksasa setelah mendengar penjelasan ada raksasa lain yang bisa mengincarnya sebagai mangsa. Setiap hari, raksasa wanita itu memberikan makanan kepada La Sirimbone dalam kurungan sampai anak laki-laki tersebut tumbuh dewasa. Perjalanan La Sirimbone Menyusuri Hutan Pada suatu hari, La Sirimbone meminta izin kepada raksasa perempuan untuk keluar dari kurungan karena ia merasa jenuh. Sang raksasa itu mengizinkannya untuk keluar dan memberikan panah sebagai perlindungan diri. Dikisahkan dalam cerita rakyat La Sirimbone dari Sulawesi Tenggara, ia pun memanfaatkan waktunya di hutan untuk berburu beragam jenis hewan. Benar saja, laki-laki itu dengan cepat belajar bagaimana caranya berburu dengan panah dan berhasil membawa pulang banyak hewan ke rumah sang raksasa. Melihat La Sirimbone yang berhasil pulang dengan selamat, raksasa wanita itu bisa mengurangi kekhawatirannya atas keselamatan laki-laki tersebut. Maka dari itu, bukan hal yang mengagetkan bila raksawa perempuan tersebut kembali mengizinkan La Sirimbone untuk keluar rumah. Berbekal dengan bubu alat penangkap ikan buatan sang raksasa wanita, La Sirimbone kemudian pergi ke sungai untuk mencari ikan. Setelah dipasang cukup lama, betapa bahagia laki-laki itu karena banyak ikan yang masuk dalam bubu-nya. Ia pun kembali memasang bubu supaya bisa diambil esok hari. Besoknya, La Sirimbone mengecek bubu yang telah ia pasang di sungai. Sayangnya, ia tidak mendapatkan hasil yang memuaskan karena tidak ada satu pun ikan yang terperangkap dalam bubu-nya. “Kenapa bisa tak ada satu pun ikan yang terjebak dalam bubu-ku? Aneh sekali,” ucap La Sirimbone dalam hati. Ia kembali memasang bubu-nya dan pulang ke rumah. Keesokan harinya, kemarahan menyelimuti La Sirimbone karena ia melihat ikan-ikan hasil tangkapannya ternyata diambil oleh jin. Laki-laki itu kemudian menyerang jin yang mencuri ikan-ikannya. Perkelahian cukup sengit terjadi antara La Sirimbone dan jin tersebut. Baca juga Cerita Putri Serindang Bulan dan Ulasan Menariknya, Pelajaran tentang Menjaga Persaudaraan Jimat Cincin dan Kalung yang Menambah Kesaktian La Sirimbone Pada akhirnya, La Sirimbonelah yang keluar sebagai pemenang karena ia berhasil menangkap jin itu. Ia tidak mau melepaskan makhluk gaib itu sampai jin tersebut berjanji akan memberikan jimat kepadanya bila dibebaskan. “Lepaskan aku. Aku berjanji akan memberikan jimat dalam bentuk cincin yang bisa menyembuhkan segala macam penyakit dan bahkan dapat menghidupkan kembali orang mati,” pinta jin itu dengan nada memelas. “Baiklah. Aku akan membebaskanmu,” jawab La Sirimbone. Setelah bebas, jin itu memberikan cincin kepada La Sirimbone sesuai dengan janjinya dan kemudian menghilang. Laki-laki itu lalu mengambil keputusan untuk pulang ke rumah raksasa perempuan. Ketika tengah menyusuri tepi sungai, La Sirimbone menyaksikan kejadian ajaib di depan matanya. ia melihat seekor babi yang mampu berjalan di atas air. Karena takjub, laki-laki itu pun memanggil sang babi. “Hei, babi! Bagaimana bisa kamu berjalan di atas air?” tanya La Sirimbone dengan terheran-heran. “Aku bisa berjalan di atas air karena jimat kalung yang ada di leherku ini,” jawab babi itu dengan bangga. “Apakah kamu memberikan jimatmu itu padaku?” pinta La Sirimbone dengan nada penuh harap. Setelah mendengar permintaan dari manusia itu, si babi terdiam sejenak. Hewan itu lalu mendekati La Sirimbone dan memberikan jimat kalungnya. “Baiklah. Aku berikan jimatku kepadamu karena aku sudah tidak begitu sering menggunakannya lagi,” jawab babi itu sambil menyerahkan jimatnya. La Sirimbone menerima jimat dari babi itu dengan senang hati. Ia lalu mengalungkan jimat itu ke lehernya dan mencoba berjalan di atas air sungai. Benar saja, laki-laki itu dapat berjalan layaknya di daratan. Pertunjukan Kemampuan La Sirimbone Ketika tengah sibuk berjalan-jalan di atas air sungai, La Sirimbone berjumpa dengan seorang nelayan yang sedang menangkap ikan. Anehnya, nelayan itu tidak menggunakan alat pancing atau jaring ikan, melainkan senjata pedang kecil. “Pak Nelayan, senjata apa yang kamu gunakan untuk mencari ikan itu?” tanya La Sirimbone. “Aku menggunakan sebuah keris pusaka yang dapat menikam sendiri jika diperintah,” jawab nelayan itu. Mendengar penjelasan Pak Nelayan, dikisahkan dalam cerita rakyat La Sirimbone dari Sulawesi Tenggara bahwa laki-laki itu pun menjadi tertarik dengan keris sakti tersebut. Ia lalu mencoba bertanya ke nelaya itu apakah keris itu bisa diberikan kepadanya. Nelayan itu berpikir cukup lama sebelum akhirnya menyetujui permintaan La Sirimbone. La Sirimbone kemudian memutuskan untuk pulang setelah menerima pemberian keris dari Pak Nelayan. Di tengah perjalanan, ia berjumpa dengan rombongan orang-orang yang tengah membawa jenazah. Laki-laki itu lalu meminta izin kepada para rombongan untuk membuktikan kemampuan jimat cincin yang ia terima dari jin di sungai. Setelah menggosok-gosokkan cincin ke pusar jenazah, orang yang telah mati benar-benar kembali hidup. Rombongan pengantar jenazah itu menatap La Sirimbone dengan takjub. Ketika rombongan masih mencoba mencerna kejadian ajaib di depan mata mereka, laki-laki itu pamit pulang ke rumah raksasa perempuan. Sesampainya di rumah, ia segera menceritakan semua kejadian yang di alaminya hari ini kepada sang raksasa. Baca juga Cerita Hikayat Asal Usul Tanjung Lesung Beserta Ulasannya yang Menarik Disimak! Pertemuan dengan Wa Ngkurorio Pada keesokan harinya, La Sirimbone kembali meminta izin kepada raksasa perempuan untuk pergi berburu binatang ke area hutan yang lebih jauh. Karena merasa La Sirimbone sudah mempunyai jimat dan senjata pusaka, raksasa perempuan itu melepas kepergian laki-laki itu tanpa rasa khawatir. La Sirimbone kemudian menyusuri kawasan lembah dan sungai yang ada di hutan tersebut. Tak terasa, ia sudah berjalan jauh dari tempat asalnya dan sampai di sebuah perkampungan. Karena kehausan, ia memberanikan diri untuk mendekati rumah yang pintunya sedang terbuka. “Permisi! Apakah ada orang di dalam rumah ini?” tanya La Sirimbone dengan nada hati-hati. Tiba-tiba saja, keluarlah seorang gadis cantik dari dalam rumah. La Sirimbone tentu saja merasa terkejut karena ia mengira akan disambut oleh orangtua. Sayangnya, wajah perempuan itu terlihat sedang gelisah dan murung. “Maaf kalau kehadiranku mengganggumu. Bolehkah aku meminta seteguk air minum?” pinta La Sirimbone. “Boleh. Silakan duduk dulu, aku akan mengambilkan air untukmu,” jawa gadis itu seraya masuk ke dapur. Tanpa menunggu lama, perempuan itu membawa segelas air putih dan menyodorkannya ke La Sirimbone. Laki-laki itu pun menyampaikan rasa terima kasihnya dan meneguk air minum tersebut. “Perkenalkan, namaku La Sirimbone. Aku hanyalah seorang pemburu yang kebetulan lewat di kampung ini untuk berburu di hutan dekat daerah sini. Apakah aku boleh tahu siapa namanu?” tanya La Sirimbone. “Namaku Wa Ngkurorio,” jawab perempuan itu dengan suara lirih. “Maaf kalau kamu tidak keberatan, kenapa kamu tampak sedih dan murung?” tanya laki-laki itu dengan penuh perhatian. “Aku sedih karena sebentar lagi aku akan mati,” jawab gadis itu dengan nada sedih. “Kamu mau mati? Apa maksudmu, Wa Ngkurorio?” tanya La Sirimbone dengan penuh kebingungan. “Aku sedang menunggu giliran untuk menjadi mangsa seekor ular naga yang sebelumnya telah memakan 7 orang saudaraku. Sekarang aku hanya hidup bersama ayah dan ibuku saja,” ujar Wa Ngkurorio. “Maka dari itu, sebaiknya kamu segera meninggalkan tempat ini kalau kamu tidak mau dimakan oleh ular naga itu,” lanjut perempuan itu. Pertarungan dengan Ular Naga yang Memangsa Penduduk Desa “Kamu tidak perlu khawatir. Ular naga itu tidak akan memakan kita karena aku akan melawannya dengan senjata pusakaku,” jawab La Sirimbone sembari mengeluarkan keris pusaka dari balik bajunya. “Tapi La Sirimbone, ular naga itu tubuhnya sangat besar dan berperilaku ganas. Meskipun seluruh penduduk kampung di sini melawannya, mereka tetap tak sanggup mengalahkan monster itu,” ujar Wa Ngkurorio dengan rasa khawatir. “Tenang saja. Kamu tidak perlu cemas. Kerisku ini sakti, kok. Aku yakin bisa mengalahkan naga itu,” jawab La Sirimbone dengan penuh keyakinan. La Sirimbone dan Wa Ngkurorio duduk dan menunggu kedatangan sang ular naga. Benar saja, ular naga itu datang ke rumah Wa Ngkurorio pada sore hari. Tanpa menyia-nyiakan kesempatan, La Sirimbone segera menyuruh kerisnya untuk menikam monster itu. Dengan secepat kilat, keris pusaka La Sirimbone menikam perut ular naga. Monster itu tidak menyangka kalau ia akan diserang secara tiba-tiba. Ketika ular naga itu ingin menyerang balik, keris sakti milik La Sirimbone telah berhasil mengoyak-oyak isi perut si monster. Tak berapa lama, ular naga itu pun mati karena kehabisan darah. Wa Ngkurorio yang sebelumnya mempertanyakan kemampuan La Sirimbone pun hanya bisa berdecak kagum. Gadis itu segera menyampaikan terima kasih kepada La Sirimbone yang telah menyelamatkan nyawanya. Kabar kematian ular naga yang tersebar membuat para penduduk kampung bersorak gembira dan menyelenggarakan pesta besar-besaran. Sementara itu, Wa Ngkurorio yang merasa telah diselamatkan La Sirimbone kemudian menyetujui bujukan para penduduk kampung yang ingin menikahkannya dengan laki-laki pemberani dan sakti itu. Kehidupan rumah tangga La Sirimbone dan Wa Ngkurorio dipenuhi dengan kebahagiaan dan ketentraman. Anak laki-laki yang dulunya ditinggalkan keluarganya itu bisa membangun keluarganya sendiri. Begitulah akhir cerita rakyat La Sirimbone dari Sulawesi Tenggara. Baca juga Cerita Rakyat Nenek Luhu dan Ulasan Lengkapnya, Dongeng Terjadinya Laguna Air Putri di Maluku Unsur Intrinsik Dongeng La Sirimbone Nah, kamu telah mengetahui bagaimana kisah lengkap La Sirimbone. Selanjutnya, saatnya kamu menyimak tentang apa saja unsur intrinsik yang ada dalam dongeng anak-anak asal Sulawesi Tenggara tersebut. Uraiannya dapat kamu cek dalam penjelasan berikut 1. Tema Inti cerita atau tema dari cerita rakyat La Sirimbone asal Sulawesi Tenggara adalah tentang keluarga. Dongeng itu mengikuti kisah hidup seorang anak laki-laki yang ditinggalkan oleh keluarganya dan akhirnya bisa mempunyai keluarga sendiri ketika ia dewasa. 2. Tokoh dan Perwatakan Beberapa tokoh yang memiliki peran dalam pengembangan cerita adalah La Sirimbone, Wa Roe, La Petamba, raksasa perempuan, jin, babi, Pak Nelayan, dan Wa Ngkurorio. La Sirimbone digambarkan sebagai tokoh yang baik hati, patuh, berani, dan penuh keberuntungan. Sementara itu, Wa Roe sebenarnya adalah ibu yang mandiri, peduli, dan sangat menyayangi anaknya. Sayangnya, ia tidak bisa melindungi La Sirimbone dari perlakuan kejam La Petamba dan meninggalkan putra satu-satunya di hutan. La Petamba memiliki watak yang egois, suka marah, dan mudah jatuh cinta dengan perempuan cantik. Laki-laki itu juga hanya suka membual karena ia terbukti mengingkari janji setelah berhasil menikahi Wa Roe. Selanjutnya, raksasa perempuan yang mulanya ditakuti oleh La Sirimbone justru menjadi sosok yang merawat dan melindunginya dari mara bahaya. Selain itu, ada juga jin, babi, dan Pak Nelayan yang memberikan jimat serta senjata pusaka mereka untuk La Sirimbone. Wa Ngkurorio merupakan seorang perempuan berwajah cantik dan berbudi luhur. Ia rela berkorban untuk dijadikan mangsa ular naga demi keselamatan ayah dan ibunya. 3. Latar Latar yang ada dalam cerita La Sirimbone terdiri dari banyak tempat, Sebut saja rumah La Sirimbone, rumah raksasa perempuan, hutan, sungai, dan rumah Wa Ngkurorio. 4. Alur Jalan cerita atau alur cerita rakyat La Sirimbone dari Sulawesi Tenggara termasuk dalam jenis alur maju atau progresif. Cerita di awali dengan perkenalan karakter La Sirimbo dengan ibunya, Wa Roe. Kehidupan keluarga itu mulanya baik-baik saja sampai datangnya La Petamba. Konflik pertama dimulai dengan perlakuan La Petamba yang tidak menepati janjinya dengan Wa Roe untuk memperlakukan La Sirimbone layaknya anak kandung sendiri. Kemudian, kisah La Sirimbone pun semakin berliku-liku dengannya ditinggalkan oleh Wa Roe di hutan. Ketika di hutan, ia berjumpa dengan raksasa perempuan yang mengizinkan La Sirimbone untuk tinggal di rumahnya. Seiring tumbuh dewasa, laki-laki itu berjumpa dengan beragam makhluk yang memberikannya jimat dan senjata pusaka. Puncak konflik terjadi ketika La Sirimbone melawan ular naga yang hendak memakan Wa Ngkurorio. Pada akhirnya, laki-laki itu sukses mengalahkan sang monster dan menikah dengan gadis yang ia selamatkan tersebut. 5. Pesan Moral Amanat atau pesan moral yang dapat kamu ambil dari kisah hidup La Sirimbone adalah untuk tetap berbuat kebaikan walaupun kadang dunia memberikanmu yang sebaliknya. Selain itu, dari tokoh utama tersebut kamu juga belajar untuk jangan mudah menyerah. Dari karakter La Petamba, kamu jadi belajar untuk tidak menjadi pribadi yang ingkar janji demi kepentingan diri semata. Bila kamu mengkhianati kepercayaan yang telah diberikan kepadamu, maka akan tiba hari di mana semua orang tidak akan bisa percaya denganmu lagi. Tidak hanya unsur intrinsik, ada juga unsur ekstrinsik yang terkandung dalam cerita rakyat La Sirimbone dari Sulawesi Tenggara. Sebut saja nilai-nilai yang berlaku di masyarakat setempat, contohnya adalah nilai budaya, moral, dan sosial. Baca juga Legenda Putri Aji Bidara Putih, Asal Usul Terbentuknya Danau Lipan Beserta Ulasan Lengkapnya Fakta Menarik Setelah mengetahui dongeng La Sirimbone beserta unsur-unsur intrinsiknya, rasanya belum lengkap kalau kamu tidak sekalian menyimak fakta menarik seputar cerita anak-anak dari Sulawesi Tenggara tersebut. Mari simak ulasannya dalam penjelasan berikut 1. Tersedia dalam Bentuk Buku Ilustrasi Cerita rakyat La Sirimbone dari Sulawesi Tenggara menjadi salah satu dongeng yang dirilis dalam bentuk ilustrasi khusus untuk anak-anak. Sehingga, anak-anak bisa lebih tertarik untuk menyimak cerita tentang anak laki-laki yang baik hati dan penuh keberuntungan tersebut. 2. Menjadi Materi Tugas Storytelling Banyak cerita rakyat di Indonesia yang menjadi bahan untuk tugas storytelling atau bercerita di depan umum dalam bahasa Inggris. Oleh sebab itu, bukan sebuah kebetulan jika dongeng La Sirimbone juga dialihbahasakan ke bahasa Inggris. Baca juga Dongeng Burung Jalak dan Kerbau Beserta Ulasannya, Kisah Persahabatan Tak Lekang Masa Cerita Rakyat La Sirimbone dari Sulawesi Tenggara yang Mengajarkan Pesan Positif Demikian ulasan kisah La Sirimbone dari Pulau Sulawesi yang bisa kami rangkum. Apakah kamu dapat mengambil pesan-pesan positif dari cerita rakyat tersebut? Kalau iya, semoga saja kamu bisa menerapkannya dalam kehidupan sehari-hari. Bukan hanya cerita rakyat, masih banyak artikel menarik lainnya yang dapat kamu jumpai di PosKata. Beberapa di antaranya adalah legenda Danau Dendam Tak Sudah, asal mula anak Sungai Mahakam, dan dongeng Naga Erau. Selamat membaca! PenulisAulia DianPenulis yang suka membahas makeup dan entertainment. Lulusan Sastra Inggris dari Universitas Brawijaya ini sedang berusaha mewujudkan mimpi untuk bisa menguasai lebih dari tiga bahasa. EditorKhonita FitriSeorang penulis dan editor lulusan Universitas Diponegoro jurusan Bahasa Inggris. Passion terbesarnya adalah mempelajari berbagai bahasa asing. Selain bahasa, ambivert yang memiliki prinsip hidup "When there is a will, there's a way" untuk menikmati "hidangan" yang disuguhkan kehidupan ini juga menyukai musik instrumental, buku, genre thriller, dan misteri.
10 Rekomendasi Buku Cerita Rakyat Terbaik (Terbaru Tahun 2023) Cerita rakyat termasuk sastra lama. Kisahnya berasal dari masyarakat zaman dahulu yang berkembang dari mulut ke mulut. Kisahnya menarik untuk diceritakan kepada anak-anak karena mengandung pesan moral yang dapat membangun imajinasi dan membantu pembentukan karakter anak.
Cerita Rakyat Sulawesi Tenggara Dongeng Persahabatan Kera dan Ayam Budaya Nusantara berkembang sangat luas dari Sabang sampai Merauke. Pada artikel blog The Jombang Taste sebelumnya kita sudah membaca cerita dongeng Sigarlaki dan Limbat dari Sulawesi Utara serta dongeng asal-usul Puteri Duyung dari Sulawesi Tengah. Artikel kali ini menampilkan cerita rakyat dari Sulawesi Tenggara yang berjudul cerita fabel persahabatan kera dan ayam. Selamat membaca. Pada jaman dahulu hidup dua binatang yang bersahabat erat, yaitu kera dan ayam. Mereka berdua tinggal di dalam hutan di wilayah Provinsi Sulawesi Tenggara. Kelihatannya mereka berdua selalu hidup rukun dan darnai. Tapi, kenyataan sebenarnya tidaklah demikian. Setelah sekian lama mereka bersahabat, barulah ketahuan perilaku buruk si kera. Pada suatu hari si kera membuat siasat untuk menjebak ayam. “Hai Ayam, sahabatku,” panggil kera dengan muka manis. “Ada apa kera?” jawab ayam. “Sore-sore begini enaknya kita jalan-jalan. Maukah kau pergi bersamaku?” kata kera dengan nada merajuk. “Memang kita mau pergi ke mana? ” tanya ayam ingin tahu. “Aku akan mengajakmu jalan-jalan ke hutan. Disitulah tempat aku biasa bermain. Di sana tempatnya indah. Pasti kamu akan suka!” ujar si kera seraya mernbujuk. Kera Menjebak Ayam di Hutan Ayam tertarik dengan ajakan si kera. Ia tidak pernah tahu kalau kera punya tempat bermain yang indah. Tanpa rasa curiga sedikitpun, ia mengikuti kera untuk berjalan-jalan di hutan. Ayam berjalan di belakang kera. Hari semakin gelap, perut kera mulai meronta-ronta minta diisi. Saat itulah timbul niat busuk kera untuk mencelakai ayam. “Untuk apa aku susuh-susah mencari makanan. Di belakangku saja sudah ada makanan yang sangat lezat,” pikiran kera mulai licik. Kera melihat ayam tampak kebingungan masuk ke dalam hutan. Ayam itu tampak besar dan segar. Hmm, pasti enak kalau daging ayam itu masuk ke dalam perutnya. Kera berpikir, jika ayam hendak dimakannya, lebih baik jika tanpa bulu. Oleh karena itu, ia hendak mencabuti bulu ayam terlebih dahulu. Kera mengatur waktu yang tepat untuk menangkap ayam. Ayam dan kera berjalan semakin jauh dan masuk ke dalam hutan. Saat itu hari makin gelap, kera pun melaksanakan niatnya. Ia segera menangkap ayam. “Kena kau!” ujar kera kegirangan saat berhasil menangkap ayam. Ayam tampak terkejut melihat perlakuan kera. “Mengapa kau menangkapku? Bukankah kita saling bersahabat?” tanya ayam dengan nafas terengah-engah. “Dulu kita sahabat. Tapi sekarang aku lapar. Maka kau harus mau jadi makananku,” kata kera dengan tawa terbahak-bahak. Kera yang jahat itu kemudian mencabuti bulu-bulu si ayam. “Tidak…! Jangan kau cabut buluku! Sakit…!” teriak ayam dengan suara pilu. Ayam meronta-ronta dengan sekuat tenaga. Ayam mencoba lari dari cengkeraman si kera jahat. Lalu pada sebuah kesempatan yang tepat, ayam mematuk tangan kera hingga kera itu melepaskan tubuh ayam dalam genggamannya. Setelah berusaha keras tanpa mengenal lelah melompat kesana-kemari, akhirnya ayam berhasil melarikan diri. Ayam berlari sekencang-kencangnya keluar dari hutan. Setelah sekian lama ayam berlari, tibalah ia di rumah sahabatnya yang lain. Ayam tiba di rumah kepiting. Kepiting yang melihat ayam tidak berbulu dan tampak kelelahan membuatnya penasaran. Ia pun bertanya. “Kamu kenapa, ayam? Mengapa napasmu terengah-engah? Kenapa bulu-bulumu rontok semua?” tanya kepiting dengan rasa iba. “Kepiting, aku dicelakai oleh sahabatku sendiri si kera. Ia hendak memakanku,” jawab ayam dengan napasnya yang masih terengah-engah. “Kurang ajar! Tega sekali kera berbuat seperti ini kepadamu,” ucap kepiting tidak percaya. Kemudian ayam menceritakan kejadian dari awal sampai akhir. Mulai dari ajakan kera mengunjungi tempat bermain sampai ia dijebak oleh kera dan akan dimakannya. “Kera harus kita beri pelajaran!” ucap kepiting dengan geram usai menyimak penuturan ayam. Ayam dan kepiting kemudian mengatur siasat untuk memberi pelajaran kepada si kera. Mereka tampak bermusyawarah dengan serius. Tak lama kemudian kepiting membantu ayam menyembuhkan bulu-bulunya yang rontok. Pembalasan Untuk Kera Pengkhianat Beberapa bulan kemudian bulu-bulu di tubuh ayam telah pulih. Ayam dapat mencari makan seperti sedia kala. Ayam kembali bertemu dengan kepiting. Kepiting mengajak ayam menemui kera. Awalnya ayam tidak mau. Ia masih takut kepada kera. “Inilah saat yang tepat untuk menghukum sahabat pengkhianat macam kera itu,” kata kepiting berusaha meyakinkan ayam. “Tapi aku masih takut…” kata ayam. “Tenanglah. Aku akan membantumu,” ujar kepiting. Akhirnya ayam menuruti ide kepiting. Pada hari yang telah disepakati bersama, mereka berdua datang ke tempat kera. Kera tampak asyik duduk di kursi malas. Ayam masih tampak ketakutan melihat si kera. Ia ragu untuk berbicara dengan kera. Akhirnya, kepitinglah yang berbicara kepada kera. “Hai kera, dua hari lagi aku dan ayam akan pergi berlayar ke pulau seberang. Disana banyak makanan enak,” ujar kepiting kepada kera. “Benarkah? Bolehkah aku ikut berlayar dengan kalian,” ucap kera penuh harap. “Boleh saja. Dua hari lagi kami tunggu di pantai. Jangan sampai terlambat ya,” kata kepiting. Tibalah pada hari yang telah disepakati. Mereka berdua bertemu di pinggir pantai. Sebelum mereka berangkat berlayar, perahu dari tanah liat telah disediakan. Ayam dan kepiting sengaja mempersiapkan jauh-jauh hari rencana pembalasan ini. Mereka bertiga bergegas naik perahu menuju pulau seberang. Perahu yang mereka tumpangi semakin lama semakin menjauh dari pantai. Kera yang rakus mulai membayangkan betapa lezatnya buah-buahan yang akan disantapnya nanti, sedangkan ayam dan kepiting mulai saling memberi sandi. Ayam berkokok, “Kukuruyuk….! Aku lubangi kok… kok…. kok….!” Si kepiting menjawab, “Tunggu sampai dalam sekali.” Setiap Kepiting selesai berkata begitu, ayam mematuk-matuk perahu itu. Mereka kemudian mengulangi permainan itu lagi. Si Kera sama sekali tak mengerti apa sebenarnya yang dilakukan ayam dan kepiting. Sedikit demi sedikit perahu itu berlubang. Air laut mulai merembes ke dalam perahu. Lama-kelamaan perahu yang mereka tumpangi bocor. Kera mulai panik tapi ia tak bisa berbuat apa-apa. Perahu semakin lama semakin tenggelam. Kepiting dan ayam bersiaga meninggalkan kera. Mereka bertiga berusaha menyelamatkan diri dengan caranya masing-masing. Si kepiting menyelam ke dasar laut, sedangkan si ayam dengan mudah terbang ke darat. Si kera tampak ketakutan sendirian di atas perahu. Pada dasarnya kera paling takut pada air, apalagi air laut. Ia berusaha meronta-ronta minta tolong, tapi siapa yang dapat menolongnya karena ia sendirian di tengah lautan. Kera juga tidak bisa berenang, maka matilah si kera yang licik itu di tengah lautan yang dalam. Demikian akhir dari cerita fabel kera dan ayam. Amanat cerita dongeng kera dan ayam ini adalah perbuatan jahat akan mendapatkan balasan yang menyakitkan. Jika kita mempunyai sahabat, maka kita tidak boleh mengkhianati sahabat kita. Selain itu, sifat rakus kera telah mematikan kepandaiannya sehingga ia menemui celaka akibat perbuatannya sendiri. Semoga cerita rakyat dari Sulawesi Tenggara ini bisa memberi inspirasi bagi Anda. Sampai jumpa di artikel The Jombang Taste berikutnya. Daftar Pustaka Rahimsyah, MB. 2007. Kumpulan Cerita Rakyat Nusantara Lengkap dari 33 Provinsi. Bintang Usaha Jaya, Surabaya Artikel Terkait
Kumpulan Dongeng Cerita Rakyat dari Sulawesi Tenggara : La Moelu . Tersebutlah seorang anak lelaki bernama La Moelu. Ia hidup bersama ayahnya yang telah tua. Ibunya telah lama meninggal dunia, ketika La Moelu masih bayi. Karena ayahnya telah tua, La Moelu-Iah yang mencari nafkah. Ia mencari ikan untuk mencukupi kebutuhan hidup dirinya dan juga
Legenda Telaga Bidadari dari Kalimantan Selatan. Selain terkenal dengan pasar terapungnya, Kalimantan Selatan juga terkenal akan legenda atau cerita rakyatnya. Salah satunya adalah legenda Telaga Bidadari, yang berasal dari desa Pematang Gadung, Kecamatan Sungai Raya, Kabupaten Hulu Sungai Selatan Provinsi Kalimantan Selatan.Rating: 2.9 (18 pemilih) Gunung Saba Mpolulu terletak di Kecamatan Kabaena, Kabupaten Bombana, Provinsi Sulawesi Tenggara, Indonesia. Dalam bahasa setempat, kata Saba berarti terpongkah, jatuh, atau hilang sebagian, seperti mata kapak yang sompel akibat berbenturan dengan batu atau benda keras lainnya. Sedangkan kata Mpolulu berarti kapak.Diperkirakan sebelum letusan pertama Gunung Tambora pada tahun 1815, gundukan pasir putih di tengah laut sebelah utara Pulau Sumbawa itu sudah didiami oleh komunitas masyarakat Selayar. Menurut cerita rakyat Bungin - berdasarkan cerita dari kakek - nenek mereka, sebelum letusan pertama Gunung Tambora itu, Lamayu beserta keluarganya sudah
.